Monday, June 21, 2010

Yogya, Surga Makanan Enak

Katon Bagaskara pasti punya pengalaman tak terlupakan yang mendorongnya menciptakan lagu bertajuk Yogyakarta. Setiap kali menginjak kota ini, sulit untuk tidak mendendangkan lagu yang dibawakan KLA Project ini. Lirik lagu ini masih sangat cocok menggambarkan Yogya. Sudut-sudut kota Yogya masih bersahaja, musisi jalanan beraksi memeriahkan malam, pedagang lesehan mewarnai sepanjang jalan Maliboro. Bedanya, kini Yogya tidak hanya menawarkan sajian tradisional berupak gudeg dan segala lauk pauknya. Berbagai tipe kafe, resto, kedai, warung makanan tersebar di seluruh kota. Kembali ke Yogya setelah beberapa lama absen, kekaguman atas perkembangan kuliner ini membumbung tinggi. Setelah beberapa hari di Yogya, pusat kuliner mulai bisa dipetakan. Salah satunya, Kaliurang yang berkembang pesat. Berbagai jenis resto, mulai tradisional sampai internasional bertebaran di kawasan ini. Paling tidak dibutuhkan beberapa hari untuk bisa menjelajah dan mencoba resto, rumah makan dan kafe terbaik di kawasan ini.

Masih di sekitar Kaliurang, tepatnya di daerah Mudal, Sariharjo terdapat banyak tempat makan yang sayang untuk dilewatkan. Sebut saja Sapi Bali. Rumah makan yang berdiri 2 tahun lalu ini menjadi tujuan utama warga Yogya dan pendatang yang ingin mencicipi Iga Bakar Bumbu Bali yang lezat. Tempat makan yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke Yogya. Hanya beberapa meter dari Sapi Bali terdapat beberapa resto dan kafe yang menyajikan menu dan lokasi yang eksklusif. “Rencananya wilayah ini akan dibuat menjadi pusat kuliner Yogya. Gayanya akan seperti Bali,” ungkap I Ketut Sudarsana, pemilik Jimbaran Kafe yang berada di kawasan ini. Puluhan resto dan kafe sudah berdiri di lokasi ini, dan di tahun mendatang, kawasan Mudal, Sariharjo dipastikan bakal seramai dan seheboh kawasan Seminyak, Bali.

Berkembangnya tempat kuliner eksklusif ternyata tidak mematikan kuliner khas Yogya. Gudeg Yu Djum tetap saja dipenuhi pengunjung. Membeli satu piring nasi gudeg dan ayam membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit. Itu pun karena saya rewel dan terus menerus menghentikan langkah pelayan. Memastikan mereka mengingat pesanan saya, saking penuh dan banyaknya pesanan. Angkringan Lik Man yang berada di sebelah Utara Stasiun Tugu juga tidak pernah sepi. Tiap malam selalu saja ramai orang yang menghabiskan waktu berbincang dengan teman dan sahabat di pinggiran jalan.

Selama berada di Yogya, saya menyempatkan diri menjadi ratu sehari dengan mencicipi hidangan khusus raja-raja Yogya yang dihidangkan di Bale Raos dan Gadri. Mengalami sendiri sajian khas keraton merupakan pengalaman tersendiri. Bayangkan, jika saat ini pemerintahan feodal masih berkuasa, tidak mungkin kami bisa duduk di meja dan memakan menu yang sama dengan raja, jika bukan anggota keluarga kerajaan. Sambil mencoba hidangan favorit Sultan Hamengkubuwono ke IX dan X, saya pun berandai-andai, jika saya putri raja, gelar apa yang akan disandang. Lamunan terputus dengan seloroh seorang teman. “Gelar yang cocok buat kamu, Raden Ayu Woro Kenthir (Raden Ayu Gila, red),” gelak seorang teman. Mungkin gelar itu yang cocok dengan kepribadian, tapi tetap saja, sensasi menjadi putri raja saat menikmati kuliner para raja tidak akan hancur karena gelar “nakal”.

Menyantap Hidangan Kesukaan Sri Sultan

Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat punya pengaruh besar dalam perjalanan sejarah Indonesia. Di masa penjajahan dan awal kemerdekaan Sultan Hamengkubowono ke XI yang merangkap posisi sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia menjual harta kerajaan untuk membiayai negara yang masih seumur jagung ini. Ketika Sultan berkarisma ini mangkat dan digantikan sang putera yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono ke X, pengaruh Kasultanan Yogyakarta tidak berkurang. Yogyakarta masih berada dalam kendali Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur dan Kepala Daerah.

Posisi Sultan dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat Yogya tidak hanya sebagai simbol, tapi juga bukti nyata kejayaan kerajaan Mataram di tanah Jawa. Meski kini protokoler keluarga kerajaan sudah tidak seketat seperti beberapa dekade lalu, tetap saja ketika menyebut keluarga kerajaan, pikiran akan dipenuhi rasa ingin tahu. Seperti apa kehidupan keluarga kerajaan di balik tembok yang berdiri megah dan anggun? Buat saya, keingintahuan lebih terpaku pada gaya kuliner keluarga kerajaan. Makanan seperti apa yang disajikan untuk para raja? Di Yogya, kami menemukan beberapa resto yang menyediakan menu kesukaan raja, mulai dari Hamengkubuwono XIII sampai yang ke-X. Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX biasa mulai bersantap dengan makanan pembuka berupa Soup Tomat. Segar rasa tomat membangkitkan gairah dan nafsu makan siapa pun yang mencicipi. Hidangan istimewa ini saya coba di Bale Raos, resto milik GKR Pembayun, putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono ke-X. Menu raja yang berkuasa dari tahun 1940-1988 ini memesona kami. Bebek Suwar Suwir dengan Saus Kedondong, wah yang satu ini rasanya sungguh luar biasa. SuddenlyI feel like a royalty hanya dengan mencoba sajian ini. Bebek suwir yang empuk berpadu sempurna dengan saus kedondong yang asam. Menyatu dengan sempurna. Menu lain yang disukai HB IX, Nasi Blawong. Nasi merah dengan aneka lauk ayam, sambal, telur dan peyek teri. Paling enak dimakan siang hari karena porsinya yang lumayan besar. Nasi panas bercampur aneka lauk ini sangat enak. Hidangan istimewa ini kami cicipi di Gadri Resto yang juga kediaman Pangeran Joyohadikusumo. Selera HB VIII, Roti Jok dengan semur daging. Bentuknya menarik dan setelah dicoba, tidak mengecewakan. Roti jok yang asin dengan cocolan kuah semur yang manis terasa unik dan juga menggelitik lidah. Gadri dan Bale Raos tidak hanya menghadirkan menu khas keraton. Lokasi resto yang masih berada di lingkungan keraton memberi kesan yang kuat. Masuk ke dalam resto Gadri, pandangan kami tertumbuk pada sebuah sangkar ayam yang biasanya digunakan pada saat kekahan. Bangunan bergaya Jawa kuno dengan pajangan foto keluarga GBPH Joyohadikusumo, adik kandung HB X membuat restoran ini jauh dari kesan arogan. Nyaman dan hangat. Begitu yang dirasakan. Sesekali, BRAy Hj. Nuraida, istri GBPH Joyohadikusomo menghentikan langkah kakinya hanya untuk menerima permintaan pengunjung berfoto bersama. “Kerabat saya ini datang dari Kalimantan dan ingin berfoto di ruangan depan bersama Gusti,” ucap seorang ibu. Berada di dua resto ini, kami bisa merasakan suasana khas keraton. Rasanya seperti menjadi putri keraton yang tengah berada di jamuan makan Sultan. Pengalaman kuliner yang luar biasa.

Kaliurang: Pusat Kuliner Terdahsyat di Yogya

Terakhir kali saya berkunjung ke Yogya kurang lebih setahun yang lalu. Itu juga karena ada rapat dengan bos besar dan sedikit besar. Jadi tidak bisa jalan-jalan. Hanya bisa sarapan gudeg Yu Jum. Siapa nyana setahun absen, perkembangan kuliner di Yogya bikin bengong. Banyak sekali tempat baru bermunculan di wilayah ini. Yogya tampil dengan wajah yang lebih modern dan dinamis. Tidak hanya mengandalkan makanan tradisional. Untungnya ada Bedul, panggilan saya buat Ongki Rubianto, sahabat yang lebih dari satu dasawarsa saya kenall. Sebagai pengusaha agen perjalanan di Yogya, Bedul lumayan update dengan tempat makan baru, terutama yang berada di daerah Kaliurang. Seriously, you have to come to Kaliurang and experience the incredible foods in this area. Beberapa tahun lalu, Kaliurang dikenal sebagai daerah mahasiswa. Universitas dan kosan menjamur di kawasan ini. Makanan di kawasan ini lebih banyak untuk mahasiswa. Harga murah dengan porsi besar. Tapi sekarang, Kaliurang bisa dibilang pusat kuliner Yogya. Paling tidak itu yang kami rasakan. Mulai dari resto internasional sampai rumah makan tradisional ada di sini. Luar biasanya lagi, semuanya enak. Yuk, kita berwisata kuliner di wilayah Kaliurang? Saya memilih mengarungi wilayah Kaliurang dari kawasan atas dengan mampir di Jadah Tempe Mbah Carik I di Asto Mulyo, Kaliurang. Sering disebut sebagai burger Jawa, taruh tempe di antara dua buah jadah dan memakannya seperti burger. Ternyata, J'addore this Javanese burger! Nggak akan merasa ndeso kok kalau makan ini. Justru menjadi ndeso kalau belum pernah memakan burger Jawa yang top ini.

Sambil menikmati udara Kaliurang yang sejuk, saya mengarah ke bawah dan berhenti di kilometer 18,7, atau tepatnya di resto Amboja. Terus terang, saya mampir karena tertarik dengan slogan, herb garden dine. Restoran yang dibangun dari potongan bambu ini sangat ramah lingkungan. Bumbu yang digunakan diambil dari lahan di samping resto. Di dalam resto tidak ada pendingin ruangan. Semilir angin bisa masuk dari pondok yang terbuka. Untuk memanggil pelayan, cukup mengetuk kentongan berbentuk cabai merah yang tergantung di beberapa sudut. Minimalis dan hemat energi. Kami memesan Ayam Rempah Pedas dan Jamur Asam Manis. Potongan ayam goreng diberi bawang merah dan limpahan cabai potong. Seperti memakan ayam goreng dan sambal dhabu-dhabu. Enak sekali. Jamur Asam Manis rasanya unik. Kuah asam manis diberi tambahan jahe dan merica hitam. Simply excellent. Selama berada di sini kami disuguhi secangkir teh Rosella sebagai minuman pembuka. Enak dan sehat. Usai mengucapkan selamat tidur pada sang surya yang sudah kembali ke peraduan, saya mengayunkan kaki keluar dari Amboja dan menuju ke persinggahan berikutnya, Sego Penyetan Banyuwangi. Terletak di km 11,5 tempat ini menyediakan tempe penyet yang juara dan ikan lega yang hao chi. Buat yang suka makanan serba panas, ini tempat yang wajib disinggahi. Sambal berwarna merah menyala yang disajikan menambah nafsu makan.

Beberapa kilometer dari rumah makan Sego Penyetan, ada papan iklan berukuran sedang yang menunjukkan arah rumah makan Sapi Bali. “Oh, kalian harus ke resto itu. Iga bakar terenak ada di sana. Salam juga ya buat Adzan. Dia pemilik resto,” tulis Bedul melalui SMS saat saya bertanya mengenai resto di Jalan Mudal Sariharjo ini. Sampai di depan resto, puluhan mobil mewah memenuhi tempat parkir yang tidak terlalu luas. Kami memasuki resto dan memilih duduk di bangku kayu yang berada di tengah ruangan. Di sini saya ketemu Winky Wiryawan. Setelah menyapa dan ngobrol sebentar, kami mulai memesan Iga Bakar Bumbu Bali berukuran lumayan besar. Tanpa kesulitan, pisau membelah daging. Bumbu Bali terasa kuat menggelitik lidah kami untuk terus menyantap iga bakar. Usai menandaskan satu porsi Iga Bakar Bumbu Bali, saya sempet ngobrol dengan Adzan T Budiman, salah satu pemilik resto. Mantan Executive Chef Hyatt Hotel dan partner memulai usaha dengan niatan membuat makanan gaya Bali yang halal. “Seperti American barbeque gaya Indonesia,” ungkap pria yang juga dikenal sebagai konsultan resto ini. Berawal dari 4 buah meja dan kursi, dalam sekejap bisnis yang dibangun Adzan berkembang menjadi the hottest resto in town. Selebriti papan atas menjadi langganannya. Termasuk Dian Sastrowardoyo. Sepanjang Jalan Damai, Mudal Sariharjo ini ada beberapa resto yang bikin nggak bisa berenti makan. Dimulai dari Jimbaran. Kepiting, udang, kerang, ikan sampai bebek crispy bisa menjadi pilihan. Ikan dan berbagai jenis seafood yang top markotop. Masih segar dan dimasak sesuai selera pemesan. Sambil menikmati makanan, pengunjung akan dihibur oleh live music. Di samping Jimbaran, ada Sawa Bar, resto fine dining yang menyajikan makanan Eropa. Pemandangan yang indah menghadap ke lahan hijau, semilir angin membelai lembut. What else do you need? Just simply heaven. Beberapa meter dari Sawa Bar, ada Hani’s Bakery. Membaca papan nama, saya pikir hanya akan mencicipi berbagai jenis pastry. Ternyata, di belakang toko kue, terdapat resto bergaya cozy dan klasik. Simple but lovely. Di resto ini, saya jatuh hati pada Pasta with Spinach, Mushroom and Beef. Saus krim yang kental bercampur dengan bayam dan pasta. Oh, kami seperti tersihir. Kenangan akan kenikmatan yang tidak mungkin kami lupakan. What an incredible experience. Be dazzelled. Beberapa resto lain yang nggak kalah mantap; Sasanti, fine dining khusus makanan Indonesia, Bamboe resto, Pari-Pari dan Ayam Betutu. Ada juga resto Korea, jika mendadak mood untuk mencoba bibimbab atau bulgogi.

Ekslusivitas Resto Khas Yogyakarta

Label sebagai kota pelajar, memberi gambaran yang sedikit keliru tentang Yogya. Terutama berhubungan dengan kuliner. Banyaknya hanya menitikberatkan pada lesehan, angkringan, nasi kucing, bakmi Yogya yang notabene bisa diperoleh dengan harga 10 ribu rupiah ke bawah. Kesannya, tidak ada tempat yang cukup eksklusif dan cozy untuk menjamu kolega, atau sekedar memanjakan diri dengan gaya kuliner yang oke. Dari penyusuran saya, Yogya justru tengah dipenuhi tempat-tempat makan yang eksklusif dan bernilai artistik tinggi. Tidak hanya dari lokasi, tapi juga makanannya. Contohnya, resto Omah Dhuwur yang berlokasi di kawasan Kota Gede. Di lingkungan pengusaha perak ini, kami menemukan resto dengan interior berwarna gelap. Dhuwur (tinggi) terejawantahkan dari puluhan anak tangga yang harus didaki. Hembusan angin yang cukup kencang semakin menguatkan posisi resto yang cukup tinggi ini. Pandangan tertumbuk pada sebuah bas betot yang berada di sudut ruangan, juga lukisan Jawa yang indah.

Sambil menikmati suasana yang cukup romantis, saya memutuskan mencoba Omah Dhuwur Steak. Tenderloin Steak dengan saus tempe. Unik kan? Tempe tumbuk dijadikan sebagai saus, sementara kentang diganti singkong. Ketika tradisi Jawa berkolaborasi dengan kuliner Barat, paduan yang sempurna. Untuk minuman, saya memberanikan diri mencoba Traditional Ice Lombok. Potongan cabai rawit sengaja ditaruh di dalam minuman. Ada sedikit rasa pedas, tapi tidak sampai merusak rasa minuman yang sedikit mengingatkan pada secang. Kurang lebih 50 meter dari resto ini, ada bangunan Jawa dengan gaya kolonial berwarna hijau. Resto Sekar Kedaton ini dijamin memanjakan Anda yang menuntut kenyamanan bagi tubuh, mata dan lidah. Coba lumpia goreng berisi gudeg. Nggak mungkin nggak suka deh. Jiahhh, memaksakan selera judulnya nih.

Di dalam kota, tepatnya di wilayah Sagan, ada beberapa resto dan kafe eksklusif. Salah satunya Gabah Resto. Sesuai namanya, ada beberapa gabah berukuran besar di halaman kafe. Penataan tempat memberi kesan minimalis dan elegan. Menu yang disediakan gabungan kuliner barat dan tradisional Indonesia. Pengunjung kafe ini paling suka Sirloin Steak, Tenderloin Spinach dan Norwegian Salmon. Ternyata, selera saya tidak jauh berbeda dengan pengunjung kafe ini. Saya pun merekomendasikan menu di atas sebagai favorit.

Warung Legendaris di Yogya

Rasanya seperti datang ke acara reuni. Itu yang dirasakan saat masuk ke rumah makan SGPC Bu Wiryo. Sepiring nasi pecel dengan tempe goreng dan telor ceplok. Sederhana, tapi mengesankan dan tidak terlupakan. Bumbu kacang yang legit dan menggigit seperti jangkar yang mengikat siapa pun yang mampir ke tempat ini. Bu Wiryo mulai berjualan sejak tahun 1959 dan masih sangat popular di kalangan mahasiswa, eksekutif sampai pejabat. Isn’t that cool? Mencari tempat makan yang memiliki sejarah sepanjang SGPC Bu Wiryo di Yogya ini tidak terlalu sulit. Beberapa tempat yang saya sambangi sudah mulai berjualan sejak berpuluh tahun lalu, salah satunya Bacem Kepala Kambing H. Sukirman. Seperti apa ya, kepala kambing yang dibacem? Ini pengalaman pertama mencoba sajian kuliner yang dari nama saja sudah mengundang rasa penasaran. “Makannya bagaimana ya?” Jujur saya membayangkan tulang kepala kambing yang keras dan besar. Ternyata sajian yang ada di depan mata k jauh berbeda. Tulang kepala lebih dahulu dibuang. Tinggal kulit dan daging saja. Kepala diungkep selama 3 jam dengan bumbu bacem. Setiap hari rumah makan ini menghabiskan kurang lebih 26 kepala kambing. Kekenyalan daging dan kulit kepala kambing dengan manisnya bumbu bacem membuat makanan ini cocok buat menemani nasi putih panas. Apalagi ditambah sambal cocolan yang pedes-pesed manis bikin napsu makan makin menggila. Meski warung ini tidak berada di pinggir jalan besar, jumlah selebriti yang sudah pernah mampir membuat saya menjuluki tempat ini sarang selebriti.

Jika kebetulan sedang berada di kawasan Kota Gede, setelah memilih perhiasan perak dan mulai merasa lapar, tandanya sudah saatnya datang ke Sate Sapi Karang Paki Prapto. Lokasinya berada di pinggir alun-alun Karang, Kota Gede. Pak Prapto mulai berjualan sate sapi di alun-alun Karang sejak tahun 80-an. Pengunjung yang datang sebagian besar menggunakan kendaraan roda empat. “Kebanyakan pelanggan yang datang langganan lama yang membawa teman atau kerabat mereka makan di tempat ini. Begitu seterusnya,” ungkap putra Pak Prapto yang kini mengambil alih manajemen usaha sang ayah. Saya sadar mengapa para pelanggan lama membawa kolega atau kerabat mereka ke tempat ini. Potongan satenya cukup besar dan mantap di tiap gigitan. Begitu pula dengan bumbu kacang. Pantas jika warung berbentuk sederhana ini menjadi salah satu legenda.

Selain lesehan dan gudeg, Yogya juga terkenal dengan sajian mie yang unik. Mie kuning dimasak di atas anglo dengan potongan ayam kampung yang gurih. Ada banyak penjual bakmi yang cukup punya penggemar di Yogya. Salah satunya, Mie Yogya Pak Pele yang biasa mangkal di Keputren alun-alun Utara. Empat buah anglo menyala tidak putus sejak tempat ini mulai buka pada pukul 6 sore. Di atas anglo itu pesanan kami dimasak. Harum bumbu bercampur dengan telur bebek, suwiran ayam kampung, mie dan kaldu ayam segar menyeruak masuk ke dalam hidung. Menambah besar keinginan untuk segera menyantap. Sesudahnya, saya kebingungan mana yang kami favoritkan. Mie kuah yang segar dan enak atau mie goreng yang menambah semangat. Pilihan yang sulit, dan kami memutuskan untuk tidak memilih. Keduanya sama enak. Bila, ingin menjajal kelezatan mie Pak Pele, kesabaran sangat dibutuhkan. Banyaknya pembeli, membuat harus rela menunggu beberapa menit sampai pesanan tiba. Penantian yang layak diperjuangkan.

Masih soal mie, ada satu lagi tempat makan legendaris di Yogya. Rumah makan Sunkie. Bangunan kuno yang berdiri sejak tahun 40-an ini masih berdiri dengan kokoh. Bentuk bangunan masih sama seperti dulu. Begitu juga dengan menu. Tamie atau mie telur hanya akan bisa diumpai di tempat ini. Tang Lie Fang, generasi ketiga pemilik rumah makan ini membuat sendiri mie yang digunakan. “Saya membuat mie dua hari sekali. Saya sendiri yang memasak semua pesanan yang masuk,” ucap wanita berusia 69 tahun ini. Penyajian Tamie mengingatkan pada Ifumie. Hanya saja Tamie lebih tipis dan sedikit gosong. Tapi soal rasa, saya berani bertaruh Anda akan menjadi pelanggan rumah makan yang berlokasi di jalan Jagalan Beji ini.

Bicara soal kuliner popular di Yogya, tidak lengkap jika tidak menyebut warung Cak Koting yang terletak di Jalan Soetomo. Meski menu andalan bebek, ada banyak menu yang bisa dijumpai. Sebut saja babat, limpa, burung dara, ayam dan sambal terong (ini salah satu sajian favorit saya). Saat memasuki rumah makan yang dilengkapi dengan tenda dan meja besi dan kursi plastik, Pasti harus melongok mencari tempat kosong. Setiap hari tempat ini tidak pernah sepi pengunjung. Bebek goreng Cak Koting memang enak. Harum, lembut dan gurih. Menikmati sepotong bebek goreng dengan ditemani sambal terong, nikmat sekali. Babat dan limpa gorengnya juga ajibbbbbbbbb. Membuat lupa diri dan terus makan.

Angkringan dan Lesehan, Tempat Nongkrong Politisi, Sastrawan, Selebriti, Turis dan Mahasiswa

Ingin menikmati secangkir kopi panas sambil bertukar cerita dengan teman dan melepas tawa? Kalau sedang berada di Yogya, langsung arahkan tujuan ke angkringan Lik Man yang berlokasi di dekat stasiun Tugu. Ada kopi joss yang diracik istimewa. Satu gelas kopi panas mendidih ditambah sepotong arang panas. Arang? Ngga salah membaca kok. Kopi joss dilengkapi sepotong arang yang masih membara, dimasukkan ke dalam gelas kopi. Fungsinya untuk mengusir angin yang bersemayam di dalam tubuh jika berada di luar rumah sampai pagi hari. Jadi, acara nongkrong tidak akan dirusak dengan angin yang tinggal dan menimbulkan kembung. Dengan satu gelas kopi joss, malam panjang tidak akan membuat Anda mengantuk. Apalagi jika ditambah dengan ketan goreng, nasi kucing, sate telur puyuh, sate kikil dan berbagai macam jenis makanan kecil.

Lokasi angkringan Lik Man jauh dari eksklusif, tapi boleh percaya atau tidak, tempat ini juga menjadi lokasi nongkrong favorit selebriti, sastrawan sampai politisi. Jika Lik Man menyajikan nasi kucing yang mungil khas angkringan. Tidak demikian halnya dengan Sego Macam yang berlokasi di depan Fakultas Peternakan UGM. Macam menunjukkan ukuran nasi yang lebih besar dan menu pendukung yang lebih beragam. Nasi, tempe orek, oseng kacang panjang, soun goreng dan sambal kacang teri, waduh nikmat sekali. Pedas sambal kacang teri menggigit lidah dan mendorong kami menyuapkan lebih banyak nasi dan lauk pendukung lain. Trik yang sangat cerdas. Untuk membantu menikmati malam, secangkir kopi klothok pilihan yang tepat. Klothok terbuat dari fermentasi alkohol yang tercipta dari pembuatan kopi. Saya memilih kopi klothok mocca yang kental dengan rasa susu jahe, cream dan kayu manis.

4 Kali Jatuh Cinta Dengan Menu Yang Sama

Meski hati sudah terpincut gudeg Yu Djum, tetap saja kurang afdal rasanya jika tidak mencoba gudeg lain yang ada di kota ini. Di depan Mirota Bakery Jalan Gejayan saya menemukan Gudeg Bu Sasya yang dijual dengan gaya lesehan. Gudeg ini hanya muncul di malam hari. Malam pertama, saya datang terlambat. Malam kedua, giliran Bu Sasya yang tidak berjualan karena tidak enak badan. Baru malam ketiga saya bertemu Bu Sasya dan mencicipi secara langsung gudeg yang banyak dinanti warga Yogya di tengah malam ini. Hati saya sekarang terbelah. Bu Sasya ternyata tidak kalah mumpuni dengan Yu Djum. Gudeg Bu Sasya mampu memikat kami. Boleh kan, kami mencintai dua wanita bertangan dingin ini?

Itu yang ada di pikiran saya pada saat itu. Setelah terbuai gudeg Bu Sasya, saya sama sekali tidak menyangka kejadian yang sama akan terulang saat berjalan ke daerah bioskop Permata. Gudeg Permata Yu Narti ini mulai buka pukul setengah sembilan malam. Saya sampai pukul 11 dan antrean sudah panjang. Kepulan nasi panas dan teriakan pembeli menyebutkan lauk pilihan membuat kami termangu. Ada rasa takut menggerogoti hati. Jangan-jangan sayabakal jatuh cinta lagi? Waduh, kalau kejadian, bisa menjadi hattrick gudeg. Ternyata ketakutan itu menjadi nyata. Lagi-lagi kami jatuh cinta. Bukan berarti kami mudah jatuh cinta, tapi apa daya, makanan enak tidak bisa dengan mudah dilupakan.

Ketiga gudeg olahan, tiga wanita berbeda sudah membuat saya jatuh hati. Meski masing-masing penjual mempunyai ciri khas, ada satu yang sama. Lauk pauk yang menemani gudeg terdiri dari ayam, telur, tahu, dan tempe. Kombinasi unik baru saya temukan di kawasan pinggiran Yogya, atau lebih tepatnya di wilayah Kabupaten Bantul. Menemukan lokasi ini sama seperti mengikuti acara Amazing Race. Banyak berhenti dan banyak bertanya. Muncul keraguan ketika arah yang ditunjukkan membawa saya ke wilayah perkampungan. Salah jalan. Itu yang ada dipikiran .Tapi melihat sebuah papan nama berukuran besar dengan logo perusahaan rokok besar menghilangkan keraguan. Papan penunjuk terpasang di depan gang kecil dan tidak ada tanda-tanda rumah makan di sana. Terlanjur basah, saya memasuki gang di kawasan perkampungan itu. Setelah melangkah 50 meter kami melihat warung dan bertanya. “Warung Sego Nggeneng di mana ya Mbak?” tanya saya dengan sedikit tidak pede. “Oh, di sana Mbak, balik lagi dan belok kiri,” ujar pemilik warung. Tidak lama kami sampai di rumah makan yang dituju.

Sebuah rumah. Itu yang saya cari. “Masuk saja langsung ke dapur Mbak. Pesannya di sana." Di dalam dapur, Mbah Martodiryo duduk dan melayani pelanggan. Beberapa pelanggan berasal dari Jakarta. “Setiap kali pulang ke Yogya, saya pasti ke sini,” ungkap seorang pelanggan yang kini tinggal di Jakarta. Seperti Yu Djum, Bu Sasya dan Yu Narti, Mbah Martodiryo juga menjual gudeg. Perbedaan ada pada lauk pelengkap. Mangut Lele membuat gudeg Mbah Martodiryo terasa beda. Begitu juga dengan tambahan daun pepaya pada olahan gudeg. “Kalau ndak enak, tidak usah bayar Mbak,” janji Mbah Marto. Tentu saja hal itu tidak terjadi karena gudeg dan Lele Mangut Mbah Marto dahsyat.

Berburu Oleh-oleh dan Makanan di Pasar Beringhardjo

Pasar Beringharjo, pusat kulakan batik di Yogya ini juga dikenal sebagai lokasi yang biasa didatangi penjelajah kuliner. Sambil mencuci mata dan memilih beberapa potong batik berpotongan indah, saya melangkahkan kaki masuk makin dalam. Di lantai dua, mampir ke kedai Ratengan Bu Warno. Ratengan berarti serba matang. Semua makanan yang dijual sudah matang. Pilihan saya, ratengan daging sapi yang sudah dibacem dan diungkep sehari semalam, kemudian digoreng. Beberapa potong daging sapi bacem ini disajikan di sebuah piring kecil dengan tambahan sambal. Sambil mencocol daging dengan sambal, kami mulai menikmati keempukan dan kelezatan rasa bacem. Ditambah sepiring nasi putih panas, siapa pun yang lewat tidak mungkin mengalihkan perhatian saya dari makanan ini.

Selesai berbelanja oleh-oleh berupa ratengan sapi dan abon, saya mampir ke kedai gado-gado Bu Hadi yang berada tepat di depan kedai Bu Warno. Sajian gado-gado ini sudah dijual di dalam pasar Beringharjo sejak puluhan tahun dan kini dijalankan oleh generasi ketiga. Bumbu gado-gado terasa legit dan sayur mayur yang digunakan masih segar. Selagi berada di dalam pasar, saya menyempatkan mampir di warung Pak Sukir, hanya untuk mencicipi semangkuk soto babat. Potongan babat memenuhi mangkuk soto dan menimbulkan sensasi luar biasa. Pak Sukir ini sudah berjualan di dalam pasar Beringharjo sejak 1958, dan tidak pernah sepi pengunjung. Alasan mereka selalu datang karena semangkuk soto yang hao chi senjingbing.