Friday, August 27, 2010

Immaculate Sunset


Bali.....

Siapa sih yang nggak terpesona dengan pulau ini? Buat saya secara pribadi, Bali seperti punya kekuatan magis yang mampu menarik saya untuk terus kembali. Seorang teman pernah tanya, "why do u love Bali so much? Jalan Kuta tidak akan berubah. Seminyak dan Kerobokan tetap seperti itu. Palingan lebih padat dengan toko dan restoran," tukasnya. Kata-katanya sih nggak sepenuhnya salah. Kuta nggak mungkin pindah tempat ke Sanur, begitu juga sebaliknya. Tapi saya merindukan suasana Bali yang nyaman. Saya merasa bisa menjadi diri sendiri tanpa peduli dengan sekelilingnya. Bisa pake celana pendek sambil pamer paha drumstick tanpa harus takut ada mata2 sinis dan mulut nyinyir yang bakal komentar. No one care. You can dress up or dress down, no body cares.

Selain kebebasan berekspresi, saya selalu kangen menikmati matahari terbenam. Dulu, waktu Ucun, kakak perempuan saya masih tinggal di Sanur, kami suka jalan berdua menunggu sunrise. Secara tempat tinggalnya hanya 5 menit jalan kaki ke pantai. Sorenya, dengan mengendarai Mio, kami sering mangkal di Kuta dan menunggu matahari tenggelam. Sunset di Kuta, terlepas dari betapa ramai dan hebohnya tempat ini, memang cantik. Semburat warna oranye membakar langit sesaat sebelum sang mentari masuk ke dalam peraduannya. Selain Kuta, ada beberapa pantai yang memiliki pemandangan sunset yang menawan. Salah satunya pantai Dreamland, Padang Padang dan beberapa pantai di kawasan Uluwatu. Menikmati sunset di pantai pasti identik dengan celana pendek, tanktop, bikini (buat yang berani) dan kaki yang penuh dengan pasir. Muka terbakar matahari dan rambut lepek akibat nyemplung ke dalam air. Jujur, berdekil2an begini paling seru. Mainan air sampai bego.

Buat yang ingin mencoba menikmati sunset yang lebioh sophisticated dengan bff atau mungkin dengan pacar, ada beberapa tempat yang menurut saya asik buat menikmati sunset. Dengan mini dress atau short pants dan sun glasses plus your fab flats.

1. Rock Bar at Ayana Hotel and Resorts
Nggak disangkal lagi ini tempat yang lagi happening di Bali. Bar yang didesain seorang arsitek asal Jepang ini dibangun tepat di atas karang. Berada kurang lebih 14 meter di atas permukaan laut. Saat duduk di open bar ini, kita bisa merasakan dan mendengar gulungan ombak menghempas batu karang. Sebuah pengalaman yang seru banget. Cocktail yang disajiin juga unik2. Saya paling suka mojito dan cocktail buah stroberi yang saya lupa namanya. Warnanya merah menyala dan rasanya asam. Enak deh pokoknya. Makanan yang disediakan lebih banyak finger foods. Jadi bukan tempat yang cocok buat cari makan. Lebih cocok buat nongkrong. Spring rolls dan Chicken Popcorn, menu favorit saya. Yummmyyy. Dapet tempat di sini terbilang perjuangan, apalagi di malam weekend. Selamat berjuang deh. Saya selalu sampai tepat jam 4.30 sore supaya bisa mendapatkan tempat yang paling pas. Nggak jauh dari bar tapi berada diujung jadi bebas menikmati pemandangan yang indah. Pesen tempat sih bisa tapi kalau terlambat 10 menit saja, bangku sudah dialihkan ke pengunjung lain. Lokasi bar ini berada di bawah resort. Harus turun kurang lebih 200 tangga. Jadi JANGAN. sekali lagi JANGAN!!@!!! pakai high heels. Kecuali kaki kamu terbuat dari kayu.

2. Jumana at Banyan Tree Resort
Restoran yang berada di kawasan resort Banyan Tree ini memukau. Perpaduan interior yang berwarna putih dengan biru laut yang bisa terlihat lobby restoran. Menghadap kearah samudera hindia. Makan malam romantis sambil memandangi sunset yang tenggelam is so romantic. Saya hanya bisa terbelalak kagum memandangi lautan yang tak berhejung berwarna biru. It's so beautiful.

3. Di Mare at Karma Kandara Resort
Ini salah satu tempat favorit saya. Sudah beberapa kali saya datang ke tempat ini dan rasa kagum tidak pernah absen. Saya serasa melangkah masuk ke Olympus, istana Zeus. Pilar berukuran besar berwarna putih menopang restoran. Tidak ada jendela yang bakal menghalangi mata memandang birunya air di Samudera Hindia ini. Di atas restoran, ada kursi malas beralas bantal serta selimut buat yang ingin menunggu sunset. Selimut ini untuk sedikit membatasi tubuh dari serangan angin yang cukup kencang. Sunglasses is a MUST item. Makanan yang di sini bergaya Mediteranian. Tapi masih ada sandwhich atau burger yang porsinya cukup mantap. Kalau mencari makan, turun dengan inclinator ke restoran di bawahnya. Ada makanan Yunani dan makanan lokal seperti pizza dan sup buntut. Bisa main langsung di pantai. Ada juga kursi malas buat sekedar leyeh-leyeh. Setiap Senin, ada layar yang memutar film-film keren. Ngerti dong, kenapa tempat ini jadi tempat favorit saya meskipun untuk masuk ke sini harus dikenakan charge sebesar 200 ribu. Eitsss, jangan kuatir, biaya itu akan dikurangi dengan pemesanan makanan. Maksudnya sih supaya orang2 yang cuma pengen potrat potret tanpa berniat makan di sini tidak bisa masuk. Well, ada rupa ada harga kali ya

4. Sangkar at BLVGARI Hotel
Kira-kira dua tahun lalu, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di bulgari hotel, Bali. Wakltu itu, hotel ini belum lama berdiri. Masih baru dan masih jadi bahan pembicaraan semua orang. Hotel termahal dengan pemandangan spektakuler. Seperti orang kampung, saya masuk ke sini dan saat kaki saya menginjak lobby hotel, mata saya terbelalak kagum melihat pemandangan yang terbentang di depan mata. Pandangan mata saya lurus memandang laut dan saat saya menunduk, saya bisa melihat atap villa hotel. Suasananya terasa gelap karena lobby berwarna gelap. Kesannya mewah tapi misterius. Dengan menggunakan buggy, saya dibawa ke Sangkar. Salah satu restoran yang ada di dalam hotel. Melewati pool yang tak bertepi. Seolah sedang berenang di laut. Seperti namanya, saya melihat sangkar di atas resto. LKampu berwarna jingga berpendar indah dari dalam sangkar yang menggantung. Beautiful. Saya lebih suka memilih duduk di bagian pinggir yang memudahkan saya menikmati pemandangan pantai. Selain pemandangan sunsetnya yang indah, di sore hari biasanya banyak monyet yang berkeliaran. Aduh seneng deh bertemu dengan saudara tua yang lucu-lucu. Jarak antara restoran dengan pantai kurang lebih 500 meter dan bisa ditempuh dengan menggunakan inclinator.

5. Ocean 27 at Bali Galeria
Temen saya yang orang Perancis begitu terkesan ketika saya tenteng dia ke sini. Kasur-kasur dan bantal tersedia buat yang doyan leyeh-leyeh sambil menunggu sunset. Buat yang suka rendeman bisa berenang sambil membawa sebotol bir. Mau duduk-duduk sambil ngebir atau minum cocktail sambil cekikikan juga bisa. Nyaman banget dan harganya cukup terjangkau. Untuk kenyamanan yang ditawarkan harganya nggak terlalu bikin sesek napas.

Wednesday, August 25, 2010

Backpacker Centil


Kalau ngedenger kata backpacker, otomatis orang berpikir tentang wisatawan kere dengan tas ransel setinggi badan dengan duit terbatas, tidur di hostel murahan dan makan ala kadarnya. Nggak salah juga sih. Beberapa tahun yang lalu, saya seperti itu. Berani jalan-jalan dengan duit ngepas. Yang penting bisa melihat tempat baru. Tidur di mana pun terserah deh. Makan apapun yang penting kenyang. Nggak mau rempong beli oleh-oleh. Pokoknya jalan-jalan sehemat mungkin.

Tapi, itu dulu

Sekarang, dengan usia yang semakin bertambah, rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk traveling dengan gaya seperti itu. Ya, saya masih berjiwa backpacker dan masih bergaya backpacker. Artinya, saya masih menggendong tas ransel besar setiap kali bepergian, kecuali untuk urusan dinas. Karena membawa kopor sambil turun naik subway sangat tidak nyaman. Tapi gaya traveling saya sudah berubah. Saya masih mupeng cari tiket pesawat murah. Tapi saya nggak mau lagi tidur di hostel seharga 70 ribuan semalam dengan tempat tidur bertingkat. Alasannya sih sederhana saja. Dengan badan saya yang "mungil" ini, rasanya parno aja kalau harus tidur di kasur bertingkat. Kalau lagi tidur nyenyak tioba2 gw ngimpi terjun payung trus nglundung ke bawah gimana? Alasan kedua, yakin kayu palang kasurnya kuat nahan beban yang berat? Siapa tau kayunya udah lapuk. Giliran dipake gw, kasur ambruk ke bawah!! Sakitnya sih mungkin nggak seberapa. Tapi malunya kan luar biasa. Bisa ngalahin sakit akibat benjol2.
Karena alasan-alasan itulah sekarang ini, setiap kali traveling, meski budget dibatasi, paling nggak saya selalu mencari kamar yang privat. Hanya untuk dua orang dan harus ada AC. Ini wajib. Saya nggak mau tengah malem masih kipas2 kayak tukang sate. Bangun pagi bukannya seger tapi malah bete. AC ini khusus di kawasan Asia Tenggara dan bukan di Eropa pada saat musim dingin ya. Gw nggak mau jadi patung es gara2 kedinginan. Selain AC, hostel, mini hotel itu harus dilengkapi dengan wifi, yang gratis tentu saja. Biar komunikasi dan eksistensi diri masih bisa tetap terjaga. Memang sih biasanya di hostel atau hotel mini itu selalu ada PC yang bisa digunakan, tapi biasanya selalu saja fully occupied alias banyak penggemarnya. Lagian males kan diliat orang kalau situs yang kita buka nggak penting banget (weitsss, bukan situs porno lho yang dimaksud. Tapi situs2 sosial seperti fb atau twitter atau blog ini). Preference yang berikutnya, tempat menginap sebaiknya dekat dengan stasiun MRT atau Subway atau halte bus. Supaya memudahkan transportasi. Maklum sudah sepuh, jadi kalau jalan kelamaan biasanya gempor dan malemnya kamar bau PPO, minyak kayu putih dan perlengkapan nenek-nenek sejenis.

Perubahan nggak cuma dari urusan tempat nginep. Urusan makan juga jadi lebih pemilih. Dulu makan mie instant atau makanan street food seadanya nggak masalah. Sekarang? Wah udah nggak bisa lagi. Tiap kali traveling selalu ada budget khusus buat nyobain restoran atau tempat ngopi yang cozy. Abis jalan2, nongkrong. Ngobrol-ngobrol nggak jelas sambil duduk2 manis di atas sofa yang comfy. Intinya, kenyamanan harus ditingkatkan. Mungkin ada yang nanya, kenapa harus makan di resto? Sok banget. Nggak juga sih. Beberapa tahun belakangan ini, saya merasa bahwa cara paling ampuh untuk mengetahui dan meleburkan diri dalam budaya suatu negara bisa dilakukan melalui makanan. Dari makanan tradisional itulah saya jadi tahu bagaimana karakteristik sebuah bangsa. Cara mereka makan dan bagaimana mereka berinteraksi satu dengan lain. Belakangan ini saya merasa, life is short. so, makes the best of it.
And sekarang saya berfotomorfosa dari backpacker dekil jadi backpacker centil.

Monday, August 9, 2010

Legend of Phu

"Hi, my name is Phu. Not Pho! I'm not your breakfast!"

Perkenalan ini langsung disambut gelak tawa peserta tour Mekong Delta yang berada di dalam bus. Dengan topi berlambang Nike warna putih, kemeja putih dan celana abu-abu dan sepatu warna hitam dan kacamata rayban palsu, Phu lebih terlihat seperti salesman ketimbang guide. Urusan gaya, cowok yang mengaku berasal dari kampung di pelosok Vietnam ini patut diacungi jempol. Meski bahasa Inggrisnya belepotan dan lebih banyak menggunakan kalimat perintah yang tidak berstruktur, Phu pede aja. Jokenya juga lumayan banyak. Meski garing, lumayan menghiburlah. Apalagi ipod mati dan perjalanan dari Ho Chi Minh City ke Mekong Delta ditempuh selama kurang lebih 3 jam.

Menurut curhatannya di dalam bus, Phu berasal dari kampung. Ayahnya seorang petani. Tahun 1997, mata Phu baru terbuka dan melihat dunia. Dia baru tahu bahwa ada orang dengan ras caucasian yang berkulit putih dan berambut pirang atau cokelat dengan mata biru, hijau atau ungu. Awalnya dia mengira semua manusia itu berwajah Asia dan berhahasa Vietnam. Selepas SMA, Phu pergi ke Ho Chi Minh City dan sekolah menjadi guide dan belajar bahasa Inggris. (No wonder kalau gayanya alay begini, hehehe).

Setelah bus mulai meninggalkan Ho Chi Minh City, mulailah Phu bercerita tentang Mekong Delta dan kecantikan gadis-gadis Mekong yang sangat menawan. "Tapi ayah saya melarang saya jatuh cinta atau berhubungan dengan gadis-gadis Mekong," ucapnya. Nggak jelas juga kenapa ayahnya melarang. Phu tidak menjelaskan secara spesifik kenapa gadis Mekong terlarang. (Menurut perkiraan gw sih karena orang tuanya takjut Phu nggak bisa balik lagi ke daratan kalau menikah dengan gadis Mekong. Itu tebakan sotoy gue lho). Sampai di Mekong Delta dan mengunjungi pusat wisata Mekong, makin ketauanlah sifat asli si Phu. Gw merasa dia lebih cocok jadi salesman ketimbang guide. Karena selama di Mekong, dia justru sibuk jualan. Bahkan membantu pelayan di rumah makan mendagangkan Elephant Ear Fish yang ternyata adalah ikan gurame goreng. Sambil jualan, nggak lupa dia colek-colek gadis-gadis Mekong yang diakunya sebagai kekasihnya itu. "This is my girl friend," ucapnya sambil memeluk seorang gadis di pusat penjualan permen kelapa. Sampai di pusat penjualan madu, lagi-lagi Phu memeluk seorang gadis yang juga diakui sebagai pacarnya. Sampai di tempat terakhir, Phu masih memeluk gadis-gadis yang ditemui sepanjang perjalanan di Mekong Delta. Sangat culamitan bin cunihin menurut gw.

Phgu baru kena batunya waktu kapal berlabuh di dekat pasar. Pemberentian terakhir sebelum kami kembali ke kota. Jalan turun kapal sedikitr tinggi dan saat gw mau turun, Phu menawarkan diri untuk membantu. Gwe sebenernya nggak yakin waktu Phu ngulurin tangan karena posisi dia kayaknya nggak kokoh. Tapi karena dia maksa, terpaksalah gw terima. Begitu gw melompat turun, pegangan Phu goyang, and dia kepeleset ke bibir beton. Refleks dong tangannya meluk ke perut gw dan refleks pula gw menghindar sampai akhirnya Phu teriak ,"help me." Gw baru sadar kalau kaki dia udah nyungsep ke tumpukan sampah dan nyaris kejengkang. Gw tarik tangannya. Bagian bawah celananya kontor dengan lumpur. Topi kebanggaanya jatuh dan kacamata raybannya masuk ke air. Untungnya semua perlengkapan dia bisa diselamatkan dan kami pun masuk ke dalam bus dengan wajah lega.

Meski sempat blangsak, Phu tetap eksis. Selama perjalanan pulang, dia masih semangat cerita tentang perbedaan toilet dan restroom menurut orang Vietnam dan alasan mengapa di setiap kapal yang berlayar di sungai Mekong selalu ada tempelan berbentuk mata berjumlah dua. Dan yang paling dahsyat adalah ucapan selamat tinggal yang sangat personal dengan menjabat tangan semua orang saat masih berada di bus. Tapi gw sadar bahwa inilah cara Phu menagih tips dari para peserta tour. Trik yang menurut gw sangat pintar. Smooth and smart. Sama seperti caranya memperkenalkan diri. Yang langsung membuat semua mata dan perhatian tertuju padanya. Juga kehandalannya sebagai sales.