Tuesday, March 29, 2011

Obelix and Asterix plusPanoramix Eating Ribs di White Hunter Cafe







Malam Minggu yang ceria gw, Melie dan Lijah janjian buat ketemuan. Maksudnya sih buat mengurus rombongan perempuan rempong yang mau jalan-jalan ke Singapura sambil nonton Lion King. Janjian awal di Kemang pun berganti menjadi Gandaria City. Lokasinya sih sebenernya nggak terlalu jauh dari rumah. Tapi mal ini jarang banget gw injek. Belum khatam. Boro-boro khatam, turun di lobby yang sebelah mana aja suka keder kok. Udah gitu Melie and Lijah juga nggak hapal betul mal ini. Lijah malah lebih parah. Malam itu pertamakali dia merawanin Gandaria City. Hmmmmmmmm, kebayang dunk seperti orang buta nuntun orang kicer. Tapi ya sudahlah. Tempat pertemuan sudah ditetapkan dan berangkatlah gw ke Gandaria City. Tapi dasar ya XL itu provider yang suka dudul. BBM kekirimnya setengah mati. Udah gitu anak dua ini ditelpon nggak bisa karena nggak dapet sinyal. Percakapan terakhir dan twitter Melie menyebut-nyebut ngantre di White Hunter. Gw sama sekali nggak tau lokasinya di mana. Jadi begitu masuk dari lobby (please don't ask lobby sebelah mana ya?), gw langsung cari satpam. Ternyata White Hunter berada nggak sampai 20 meter dari tempat gw nanya. Sampai di sana, cafe ini terkesan mewah dan penuh. Daftar antreannya panjang. Udah gitu, waitress yang berada di depan susah banget diajak ngobrol. Gw berusaha mencari di mana Melie dan Lijah berada. Tapi mata kicer gw tidak melihat keberadaan dua perempuan ini.

Mau tanya ke waitress, tapi useless. Waitress malang itu sudah dikerubutin orang yang antre dan mau masuk daftar waiting list. Akhirnya gw nyontek catatan si mbak untuk ngecek, apakah Melie dan Lijah sudah masuk. Gw liat ada nama Melie di daftar tunggu dan sudah diberi coretan. Artinya dua perempuan hitech nan gaptek itu sudah ada di dalam. Gw nekat masuk dan muter-muter ke dalam cafe dan masuk ke smoking area dan gw liat mereka sedang duduk dengan memegang Samsung Galaxy Tab masing-masing (ini bukan iklan. gw nggak dibayar sama Samsung lho. Tapi kalau gara-gara nulis ini Samsung ngasih Galaxy Tab, gw terima kok. *sambil ngarep*). "Oiiii, gimana sih kalian ini? Di telpon nggak ada yang nyaut. Di BBM nggak ada yang jawab. Di YM nggak ada yang komen. Untung gue cerdas," gw langsung merepet ngeliat mereka. Melie dan Lijah langsung kaget dengan kedatangan gw yang cukup mengejutkan. "Nggak ada signal. Nih gw BBM daritadi nggak kekirim2. Sinyal XL emang parah di sini neng," bilang Lijah sambil menunjukkan layar BBMnya. Melie yang berada di sampingnya langsung ngakak. "Udah duduk dulu. Jangan marah-marah dulu. Salam dulu sama Bunda," bilangnya. Bunda? Gw bingung dan kaget melihat mertua Melie duduk di antara mereka. Gw pun langsung mengulurkan tangan sambil nyengir seperti orang bego. "Eh, ada Bunda. Apa kabar Bun?" tanya gwdengan malu-malu. Ngeliat gw yang langsung mengkeret, Melie dan Lijah langsung tertawa terbahak-bakat. Busted!!!!!
Setelah nyamber gelas Mojito Melie dan minum, gw mulai komplain lagi. "Mel, ngapain sih milih tempat di sini. Makanannya pasti mahal kan?"tanya gw dengan wajah memelas. Apalagi gw melihat seporsi ribs yang regular harganya sudah 190 ribu. Belum pesen minumnya. Belum kalau pengen dessert. Aduh masak akhir bulan harus ngabisin duit 300 ribu buat makan malam doang sih? Nanti pulang bisa-bisa ngesot karena udah nggak punya duit buat bayar taksi. "Tenang neng. Makanan diskon 50% buat pemakai kartu krtedit mandiri atau bni. Gw ada kok. Makanya gw pilih tempat ini," ucap Melie. Malam itu Melie pesan Beef Ribs dan gw pesen White Ribs alias Pork Ribs. Gw cukup memesan yang ukurannya regular. Lima buat rusuk babi rasanya sudah cukup. Satu porsi termasuk pilihan side dish mulai mashed potato, french fries, potato wedges, red bean dan corn. Gw milih mashed potato dan red bean. Pesanan Melie dan Lijah datang duluan. Karena kelaparan, gw colek-coleh Beef Ribs punya Melie. Rasanya enak. Sausnya juga OK. Dagingnya empuk dan bumbunya meresap. Mashed Potatonya bolehlah dijadikan andalan, walapun Melie berkeras mashed potato di Chillis masih juara.

Setelah menunggu selama 25 menit akhirnya pesanan gw datang juga. Setiap kali makan ribs, gw nggak pernah pake pisau atau garpu. I like to get dirty. Makan pakai tangan. Robek rusuk-rusuknya dan mulai makan dengan lahap. Side dish harus dihabiskan duluan. Red bean yang dimasak ala Meksiko ini enak. Manis dan asamnya pas. Kacang merahnya juga sudah empuk. Yummy. Ribs daging babi ini enak. Tapi ukuran ribsnya sedikit lebih mungil dibanding yang biasa gw makan di Tony Roma's atau Naughty Nuri's, Bali. Untuk masalah rasa, dua restoran yang gw sebutin tadi masih lebih juara. Tapi over all, ribsnya enak. Meski tidak spektakuler. Green Mojito yang gw pesan juga terbukti mantap. Over all, gw ngabisin duit 120 ribu rupiah saja dan nggak perlu ngesot sampai rumah. Not bad at all. Selama masih ada diskonan 50% persen, it's more than worthed kok makan di White Hunter. Ha ha haha. Maaf ya, gw emang cewek modis (modal diskon). aren't we all???

Nyuros di Cafe Churreria





Kurang lebih sebulan belakangan ini, Ika, salah satu juragan media tetangga ribut pengan makan churros di Grand Indonesia. Apalagi saat itu Cafe Churreria yang menjual Churros, jajanan kaki lima a la Spanyol ini sedang menggelar diskon. "Lumayan nih cong. Udah lama ik nggak jajan-jajan di Grand Indonesia," tulisnya lewat BBM. Tapi karena jadwal ketemuan yang nggak pernah matching, akhirnya rencana nyuros bareng itu nggak pernah kesampean. Sampai satu hari kami merencanakan sesi curhat-curhat nggak penting soal kantor dan di hari Minggu nan ceria sehabis gajian yang masuk tanpa tambahan kenaikan gaji dan TIT itu dilakukan. Karena sudah lapar berats, tujuan langsung ke Food court di lantai 2. Saya pesan makanan di restoran Jepang sementara Ika makan gado-gado Sate House Senayan. Setelah makan dan mulai sedikit obrolan, suasana mulai nggak enak. Karena banyak banget orang yang cari tempat duduk dan segerombolan keluarga yang duduk di samping kami kok kayaknya ribut banget. Mana enak curcol dalam kondisi seperti ini. Akhirnya ide nyuros itu muncul lagi. "Tapi sekarang lagi nggak diskon cong. Gimana?" tanya Ika sambil berdiri dari kursinya.
Kalau melihat nominal yang tertera di ATM sih kelihatannya masih sangat menggoda. Tapi itu belum dikurangi untuk keperluan sehari-hari dan belanja dan bayar-bayaran yang lain. Tapi demi mengeluarkan semua beban yang sudah mengganduli di hati, akhirnya dengan gaya super pede saya memutuskan untuk nyuros aja. Kalau di Spanyol, biasanya churros dijual di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak, di Grand Indonesia, churros dijual di sebuah kafe yang chic. Selain churros ada beberapa pilihan menu yang terdiri dari cake yang manis-manis. Tapi semua jenis cake itu tidak ada yang istimewa. Sudah banyak cafe lain yang menjual menu sejenis. Yang paling menarik ya si churros ini yang bentuknya panjang, bulat dan bergerigi. Kalau saya melihatnya kok sedikit mirip dengan kaktus.
Walaupun kami berdua mengaku masih kenyang. Tapi setelah melihat menu, kami memutuskan membeli churros yang ukuran besar dengan 6 potong churros plus dua dipping sauce. Pilihan saucenya sangat spektakuler; dark chocolate dan white chocolate. Karena selera kami berdua sedikit beda, taburan churros pun mix antara gula putih dan cinnamon. Walaupun akhirnya, setelah menu datang, icing white sugar lebih enak. Tapi cinnamon juga ok karena wanginya bikin semangat makan.
Secara personal, saya suka dengan dipping dark chocolate. Sementara Ika lebih suka dengan white chocolate. Sambil makan churros dan ngobrol tentang harga churros di Spanyol yang lebih murah dan ukurannya lebih besar, saya jadi teringat Michael, teman saya yang pertengahan tahun 2010 cerita tentang niatnya membuka gerai churros di Bangkok. Sambil melahap churros, saya mengirim SMS ke Michael dan bertanya tentang gerai churrosnya di Bangkok. Menurut Michael, dia mengguinakan gaya berjualan yang sama dengan yang dilakukan di Spanyol. Churros dijual menggunakan gerobak dan dijual di mall, salah satunya di MBK. Tapi ternyata bisnisnya tidak berjalan bagus dan hanya bertahan selama beberapa bulan sebelum Michael memutuskan menghentikan bisnisnya itu. "Kalau tidak salah mesinnya masih ada. Nanti saya tanyakan pada staff saya. Kamu mau mesin itu?" tanya Michael lewat SMS. Saya hanya tertawa membacanya. Tapi perkataan Michael membuat saya menyadari satu hal. Makanan kaki lima yang sukses di mancanegara belum tentu bisa dijual dengan cara yang sama di Asia, terutama Indonesia. Contohnya saja Old Chang Kee, gorengan asal Singapura yang dijual di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak. Begitu makanan ini masuk ke Jakarta, dijualnya di dalam mal. Walaupun stall-nya kecil, tapi tidak terlihat seperti gerobak. Lalu sekarang ini ada churros. Makanan kaki lima yang disajikan di sebuah kafe yang chic. Lebih cocok dijadikan sebagai kudapan sambil nongkrong-nongkrong. Sementara di negara asalnya, makanan yang dikenal sebagai donatnya orang Spanyol ini merupakan menu sarapan. Dan dimakannya juga sebagain besar sambil jalan menuju kantor atau tempat beraktivitas lainnya. Kalau mau nongkrong, orang Spanyol makan tapas.
Intinya, kalau mau menjual makanan kaki lima di Indonesia, bentuknya harus chic dan keren.Karena orang Indonesia masih merasa kalau nongkrong di kafe tuh keliatannya keren. Apalagi, kafe itu menjual menu yang unik dan kelihatannya internasional. Apakah saya dan Ika juga termasuk golongan orang Indonesia yang kayak itu? Mungkin ada kalanya kami juga seperti itu. Tapi kami bisa kok nongkrong di pinggir jalan selama makanannya enak. Tapi nggak ditengah siang yang terik yaaa. Man, bisa gosong gueeeeeeee. Plis dehhhhh

Tuesday, March 15, 2011

Brunch and Dinner at KOI






Ketika masih bergaya korporat, saya sering menyarankan klien atau klien untuk morning meeting atau breakfast meeting di KOI, resto galeri yang berada di jalan Mahakam. Lokasinya nyaman buat ngobrol-ngobrol atau ngopi di pagi hari. Tidak hiruk pikuk dengan suara-suara pesanan. Musik juga mengalun tenang. Pas buat meeting. Tapi setelah saya meninggalkan dunia korporat yang penuh dengan aturan dan rambu-rambu dan terjun bebas di dunia media, saya tetap mencintai KOI, tapi kali ini bukan yang di kawasan Mahakam. Tapi yang berada di Kemang. Terutama restoran baru mereka di Kemang Raya. Dari depan sih kelihatannya tidak terlalu keren. Tetapi masuk ke dalam, nyaman banget. Saya selalu memilih sofa yang berada di ujung. Nyaman dan pemandangannya indah (pengunjung lain yang berada di sini). Karena jam kerja yang lebih fleksibel, saya sering mengajak teman untuk brunch di sini. Menu pilihan saya tidak jauh dari egg benedict. It's my favorit dan segelas coffee latte. Kadang-kadang berganti dengan hot chocolate dengan homemade marshmallow dengan belgian waffle.

Satu hari, saya bisa bruch dan dinner di KOI. Intinya, saya menghabiskan waktu di sini. Bahkan setelah makan malam di resto Korea saya dan beberapa teman masih mampir ke sini. Ngopi sambil ngemil. What I like so much about this place is, kenyamanannya. Pelayanannya sama aja, apakah saya pesan main course seharga 200 ribuan atau appetizer sederhana seperti french fries yang hanya seharga 20 ribuan. Apakah saya kebetulan pesan French wine atau kopi. Senyumnya sama menyenangkannya. Jadi saya sangat hepi. Ada beberapa menu favorit saya di sini. Untuk appetizer saya paling suka French Fries (Rp. 20.000) dan Jamur Enoki (Rp. 55.000) yang digoreng kering dengan potongan cabai rawit potong dan daun cocoromoroyo alias daun kunyit. Untuk salad, ya pilihan terbaik tetap Caesar Salad (Rp. 80.0000) yang disajikan langsung di atas meja. Mantap banget. Untuk main course, saya paling suka Rotiserie Chicken (Rp.70.000) yang pertama kali dikenalkan tante Linong dengan tambahan Potato Gratin (Rp. 20.000). Rotiserie Chicken, setengah ayam yang diberi bumbu dan rosemary yang dibakar. Rasanya sangat Perancis sekali. Minim bumbu tapi enak. Apalagi dengan Potato Gratin yang creamy. Tinggal tambah black papper dan mustard jadi makin endang surendang markondang. Apalagi kalau minumnya Mojito. Abis makan, gilirannya dessert dunk. Lima puluh persen dari dessert di sini pernah saya coba dan sulit rasanya berpaling dari Tripple chocolate melt cake. Ada tiga jenis chocolate cake; white, milk and dark chocolate cake yang disajikan dengan vanilla cream. Ohhhhh so so so so so so yummy. Just love love love it. Sumpahhhhh ini ok banget.



Kemang Raya 72
Jakarta
T : (021) 719 5668
Buka : 08.00-24.00

J'adore Ferran Adria



Jauh sebelum terjun secara profesional ke dunia kuliner lewat majalah Urban Style, saya sudah tergila-gila dengan traveling dan makan-makan dan mencoba makanan apa saja. Mulai dari makanan pinggir jalan yang harga gocengan sampai makanan yang harga seporsinya ratusan ribu (yang ini khusus didatangi pas habis gajian or special occassion). Saya juga mulai doyan nonton acara traveling dan gourmet. Di salah satu acara gourmet di tv kabel inilah saya pertama kali tahu tentang Ferran Adria, seorang chef asal Catalan yang mengguncang dunia kuliner. Di restoran El Bulli, Ferran benar-benar mengubah gaya kuliner yang selama ini dikenal. Dapur El Bulli lebih mirip laboratorium ketimbang dapur yang biasa saya lihat di hotel dan restoran berbintang. Ferran memadukan resep masakan dengan tehnologi. Bahan makanan yang dipilihnya juga tidak bisa dan tidak normal digunakan. Untuk bisa menikmati makanan di El Bulli juga tidak sembarangan. Harus reservasi terlebih dahulu dan untuk sekali makan per orang menghabiskan dana kira-kira 400-500 USD, kurang lebih 4-5 juta rupiah.

Jadi kalau dihitung dengan ongkos pesawat dan transportasi lokal menuju restoran ini di kawasan Costa Brava, Catalonia saya butuh uang sekitar 20 jutaan. Tentunya, perjalanan ini juga akan bersambung ke kota-kota dan negara tetangganya. Jumlah yang besar banget tapi kalau harus mengencangkan (tidak terlalu kencang lho) ikat pinggang dan mengurangi belanja yang tidak jelas (sepatu dan tas) rasanya saya mampu menabung untuk bisa bersantap di El Bulli dan merasakan kedahsyatan hidangan sang maestro. Jujur keinginan buat jalan ke sana makin besar setelah saya diberi kado biografi Ferran Adria, Reinventing Food, Ferran Adria, a man who changed the way we eat. Membaca buku itu membuat saya makin merasakan passion yang dimiliki Ferran di bidang kuliner. Kecintaan dan dedikasinya bisa dirasakan. "I never eat at home. I spend most of my time here (at El Bulli," ungkapnya. Saya belum menyelesaikan membaca buku ini karena untuk membacanya butruh waktu khusus dan saya tidak ingin diganggu oleh hal lain. Saya ingin saat itu menjadi saat yang privat antara saya dan Ferran Adria, a man whom I adore.

Ngantre Panjang untuk Ma Icih, Masakcih?


Saat makan siang senin kemarin, bos bbm yang isinya : "Di Bandung lagi heboh keripik, tiap hari ada antrean panjang buat beli keripik. Sayang U**** (nama majalah tempat saya bekerja) sudah tidak ada :( (dengan ikon wajah sedih). Saya tersenyum pahit membaca isi bbm tersebut. Saya tahu benar keripik yang beliau maksud dan saya tahu benar rasanya memiliki sebuah berita tapi tidak bisa lagi menuliskannya di media yang tepat. Tapi untungnya saya memiliki blog ini dan minat dan my passion tentang makanan dan dunia kuliner masih bisa saya tulis di sini. Tentang keripik yang sedang menghebohkan itu saya sudah tahu sejak akhir Januari. Keripik Ma Icih ini memang sedang jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Saya tahu keripik ini gara-gara suatu siang, saya dan mama sedang jalan-jalan di sebuah pertokoan dan meliohat antrean panjang orang membeli makanan. Insting saya langsung membawa saya masuk ke antrean walaupun mama melotot karena harus menemani saya berdiri selama setengah jam untuk membeli dua bungkus keripik singkong yang bertabur ulekan cabai kering berwarna merah membara. Saya suka dengan bungkus plastiknya yang bergambar seorang perempuan yang saya asumsikan sebagai the famous Ma Icih.

Mama langsung menolak tegas sambil buang muka saat saya tawari keripik ini. "Makanan racun ," ungkapnya pedas. Saya tertawa terbahak-bahak. Jangan tersinggung ya Ma Icih. Mama saya akan menyebut makanan apa pun yang berasa pedas sebagai makanan racun karena beliau pernah terbaring tak berdaya selama dua minggu karena murus-murus akibat dua butir cabai rawit yang nyasar masuk ke dalam adonan gado-gado pesanannya. So, make sense dong kalau semua makanan pedas menjadi racun buatnya. Ketika bungkus plastik saya robek dan potongan keripik masuk ke dalam mulut mungil ini, saya langsung teringat kerupuk setan kiriman kakak sepupu saya di Cikarang. Rasanya cuma satu. Pedas yang bikin kesetanan. Sumpah, Ma Icih bikin bibir saya serasa baal alias mati rasa karena pedasnya. Selain pedas, nyaris tidak ada rasa lainnya. Dan menurut saya keripik ini rasanya biasa saja.Tapi saya tidak mau terburu-buru dengan penilian ini. Setelah makan dan makan lagi dan makan lagi sampai dua bungkus keripik ini habis saya masih merasa penilaian saya tidak berubah. Selain pedas yang menggigit, tidak ada hal lain yang membuat keripik ini jadi istimewa. Tapi saya tahu pecinta makanan pedas akan sangat tergila-gila dengan keripik ini. Apalagi kalau makannya dicampur dengan kuah bakso. Hmmmmmm, bakal nendang abis dan endang surendang. Tapi ya hanya itu saja. Tidak ada yang lainnya. Dan beberapa hari setelah itu saya bbm salah seorang foodie dan pebisnis kuliner untuk bertanya soal keripik Ma icih ini. "Ko, loe tau keripik Ma Icih Nggak? Pernah coba nggak? Menurut loe rasanya seperti apa?" tulis saya via bbm. Tidak lama Lee Tju, my dear friend itu menjawab. "Tahu dong Ci. Tapi menurut gw sih rasanya biasa aja. Tapi pedesnya edan," tulis Lee Tju yang selalu memanggil saya dengan sebutan Cici.

Secara pribadi saya merasa wajib menuliskan mengenai keripik ini bukan karena rasanya yang spektakuler (i still think and feel the taste is just ordinary) tapi saya justru salut dan angkat jempol dengan si pemilik brand yang menjual produknya dengan cara yang unik dan membuat produknya jadi naik. Mak Icih ini tidak dijual di tempat khusus. Para distributor produk ini yang konon kabarnya dipanggil dengan sebutan Jendral Ma Icih ini mendistribusikannya dengan cara yang unik dan melalui jejaring sosial twitter. Jadi kalau mau tau di mana mereka jualan follow saja ke @infomaicih. Cara penjualan model ini sedikit mengingatkan pada gaya berjualan roti bakar yang sedang happening di San Fransisco. Mereka menyebutkan lokasi penjualan via twitter dan sebelum gerobak roti bakar dibuka, pembeli sudah mengantre. Jadi, salut banget buat Ma Icih dengan model jualan yang inovatif dan menurut teman saya di Bandung, sekarang sudah ada varian baru. Ok deh, kalau pulang ke Bandung saya akan coba varian baru Ma Icih dan saya akan tulis lagi, apakah sudah ada perbaikan rasa atau masih mengandalkan pada rasa pedas saja.

Monday, March 14, 2011

Shop Till You Sweat di Chatuchak Market, Bangkok


“Take a deep breath, relax, don’t get yourself a panic attact. Hold yourself together.” Kata-kata pertama yang dilontarkan kakak perempuan saya, Shinta saat pertama kali saya menginjakkan kaki di pasar ini beberapa tahun lalu. Shinta tahu sekali saya bakal panik masuk ke dalam pasar yang berisi barang-barang bagus dengan harga yang sangat murah. Dan hal itu yang terjadi. Saya panik melihat barang-barang yang ada dan menghabiskan uang saku di sana dan membeli banyak barang. Pasar Chatuchak yang dikenal dengan sebutan Jatujak atau JJ Market oleh Bangkokian ini luasnya sekitar lebih dari 1 kilometer dan setiap Sabtu-Minggu kurang lebih 200.000-300.000 pengunjung memenuhi pasar ini. Ada lebih dari 1.500 toko yang dibagi ke dalam 27 seksi. Ada beberapa barang yang menurut saya sangat keren dan wajib dibeli saat ada di pasar ini. Contohnya, asesoris. The latest fashion items ada di sini. Harganya memang sudah tidak semurah saat pertama kali saya berkunjung beberapa tahun lalu, tapi tetap saja masih ada dalam kategori murah. Pakaian juga harganya rumah dan sangat terjangkau bahkan buat saya. Jeans, salah satu fashion item yang menjadi incaran banyak orang. Di sini ada banyak sekali jeans bermerek internasional. Baik yang baru maupun yang bekas. Sayangnya, mencari tempat mencoba yang sedikit susah. Jadi Anda harus menggunakan cara alternatif untuk memastikan celana yang dibeli pas dibadan. Caranya bisa dengan melingkarkan pinggang celana disekeliling leher atau mengukurnya dengan sikut, atau bisa juga mengukurnya dengan lingkaran pinggang. Saya sudah dua kali membeli jeans di sini dan saya cukup puas, walau tidak bisa mencobanya di tempat. Sebagai shoesaddict, saya juga suka dengan sepatu rancangan perancang lokal. Oh, ya itu yang lupa saya mention. Di Chatuchak, banyak sekali toko-toko yang menggelar barang-barang rancangan desainer muda yang baru meniti karier. Rancangannya trendi dan modern. Sepatu clog yang kelihatannya kurang cantik, di sini tampil dengan desain yang manis. And now, I’m a clog lovers.

Setelah puas belanja, saya pasti akan melangkahkan kaki ke Soi 24, di mana warung-warung makan terenak berada. Makanan favorit saya sebenarnya sih sederhana saja. Ketan dengan ayam goreng. Menu ini pasti saya pesan. Tapi tidak hanya itu saja. Saya juga suka dengan beberapa makanan, seperti sate babi, sate ayam, kebab Turki dan es krim Turki. Penjualnya asli Turki lho dan kadang suka sedikit ganjen dengan pembeli. Jadi kalau dia bersikap terlalu manis, ya nggak usah terlalu dimasukkan ke hati. Nikmati saya es krim Turki yang enak. Buat teman-teman Muslim, bisa makan dengan tenang di Saman Islamic Foods. Nasi Ayam Biryani-nya patut dipuji. Warung milik Khun Fatima ini juga menyediakan menu khas Thailand seperti Tom Yam.

Tip Survive at Chatuchak Market

1. Minta peta pasar di pintu masuk. Perhatikan peta dan lihat kawasan mana yang ingin Anda tuju dan barang yang Anda cari

2. Gunakan tas pinggang dan pakai di dalam kaos. Masukkan uang ke dalam tas ini agar aman dari pencopet

3. Pilih pakaian yang nyaman seperti kaos dan celana pendek serta sandal yang nyaman. Cuaca di Bangkok sangat panas, ditambah dengan jumlah orang yang memenuhi pasar, Anda membutuhkan pakaian yang nyaman dan menyerap keringat

4. Bawa air mineral dan tissue basah

5. Bawa uang pecahan kecil

6. Jangan membeli barang tanpa menawar. Paling tidak Anda menawar 50% dari harga yang ditawarkan

7. Chatuchak is a non smoking area. Jangan merokok kalau Anda tidak ingin diganjar denda sebesar 2000 bhatt

Menggunakan Skytrain turun di BTS Mo Chit

Menggunakan MRT turun di Stasiun Chatuchak Park atau StasiunKamphaengpetch

Jam operasional : Sabtu-Minggu : 06.00-18.00

Sunday, March 13, 2011

Ngunyen Thi Tanh (The Lunch Lady) yang Memesona



Kalau ada satu tempat makan yang paling berkesan di seluruh Vietnam, dengan mudah saya akan menyebut Ngunyen Thi Thanh sebagai pemenangnya. Bagaimana tidak, wanita berusia hampir setengah abad ini memiliki kepekaan bisnis layaknya lulusan Harvard dan kelezatan makanan layaknya chef internasional berbintang empat. Insting bisnis ini ditunjukkan Ngunyen Thi Thanh dengan membuat variasi menu yang berbeda setiap hari dengan harga yang tidak pernah naik. Alhasil, setiap harinya wanita yang menjajakan dagangannya sejak pukul 8 pagi ini bisa menjual 100 mangkuk per hari. Datang kesiangan, sudah pasti kehabisan. Walaupun setiap harinya Ngunyen tutup warung jam satu siang, tapi biasanya jam 12-an, sup buatannya tak bersisa. Karena alasan inilah, teman saya yang menyebut Ngunyen Thi Thanh sebagai penyelamat bagi ibu-ibu pemalas ini memaksa datang lebih pagi. “Biar dapat pelayanan terbaik,” ujarnya. Saya menurut saja. Sampai di gerobak Ngunyen Thi Thanh, antrean pengunjung sudah cukup panjang. Menurut teman saya ini, sari kaldu yang digunakan dibuat sendiri sehingga rasanya mantap. Karena saya datang hari Kamis, saya kebagian menjajal Bun Mam. Kuah bihun ini berwarna sedikit kemerahan dan di dalamnya terdapat potongan terong, okra, nanas, daging babi panggang, dan udang. Kuahnya sendiri terbuat dari kaldu ikan. Harum kaldu yang sudah bercampur dengan bumbu begitu membangkitkan selera. Rasanya perpaduan antara gurih dan asam. Tapi yang pasti lezat. Saat kuah masih mengepul, saya mulai melahap makanan ini dengan semangat. Bahan-bahan yang segar membuat kualitas masakannya pun jadi luar biasa. Jujur setelah merasakan menu Kamis, saya jadi penasaran dengan menu hari lainnya. Sayang, waktu yang saya punya di Ho Chi Minh begitu mepet. Tapi saya berjanji, saya akan kembali dan mencoba sup di hari lainnya. Mungkin menghabiskan enam hari berturut-turut untuk menikmati kejutan-kejutan lain yang disiapkan Ngunyen Thi Thanh buat pelanggannya.

Dekat 23 Hoang Sa Street, Distrik 1

Jam Operasional : 08.00-13.00

Harga : 13.000 VND