Wednesday, April 20, 2011

Berburu Barang Vintage di Thief Market, Singapura

Masyarakat Singapura menyebut pasar loak di kawasan Sungei Road ini sebagai Thief Market karena dulu, banyak dari barang yang diperjualbelikan merupakan barang curian. Banyak yang mengaku mendapatkan barang berkualitas bagus dengan harga yang murah. Dulu, barang yang dijual di sini lebih banyak peralatan rumah tangga dan kaset atau piringan hitam usang dan novel serta majalah yang usianya sudah cukup lawas.

musti sabar ngubek2 barang

Tapi sekarang ini, Thief Market berubah jadi tempat mencari barang-barang vintage. Beberapa vendor menyediakan baju-baju vintage yang keren dengan harga yang masih terjangkau. Barang yang dijual sekarang ini tidak lagi identik dengan barang curian. Banyak dari pedagang, menjual barang-barang hasil cuci gudang. Kondisi barang masih sangat layak dan ada beberapa yang masih gres. Enaknya belanja di sini, Anda bisa mengasah kemampuan tawar menawar. Saya tidak pernah menawar setengah harga. Tapi bisa 80%-90% dibawah harga yang mereka tawarkan. Kalau tidak dapat, baru naik secara perlahan. Intinya, jangan sampai penjual mengetahui Anda begitu menginginkan barang yang mereka jual.

di antara barang2 ini terdapat harta karun

Mereka akan menahan harga di angka yang menyenangkan untuk mereka dan Anda yang akan dirugikan. Seperti saya mendapatkan sebuah syal keluaran sebuah rumah mode terkemuka di Perancis hanya dengan harga 10 dollar Singapura atau setara 70 ribu rupiah. Kondisinya masih sangat bagus. Tidak ada sedikit noda pun. Bayangkan, kalau beli di butik aslinya, saya harus mengeluarkan uang lebih dari 1,5 juta. Belanja di Thief Market membutuhkan kesabaran dan kejelian. Anda dituntut untuk seksama memerhatikan barang yang dijual. Periksa dengan teliti barang yang menarik perhatian. Jangan buru-buru mengambil keputusan. Periksa barang dagangan dari penjual yang berbeda. Jangan sampai Anda sudah menghabiskan uang banyak tapi ternyata ada barang di tempat lain yang lebih bagus dan lebih murah. Sayang kan. Karena Thief Market ini bergaya outdoor dan udara Singapura yang cukup panas, gunakan pakaian yang nyaman dan lindungi kepala dengan topi agar tidak jadi bulan-bulanan sinar matahari yang terik.

pasar outrdoor yang heboh buat pemburu barang antik dan vintage

Pasar ini mulai buka sejuk pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Semakin sore, jumlah pedagang yang menggelar jualannya semakin berkurang. Pagi hari paling nyaman mengunjungi tempat ini.


Saturday, April 16, 2011

The 3 Idiots and The Crabs

Sebagai pecinta kepiting, saya tahu kepiting yang paling mantap di seluruh Indonesia raya ini adalah kepiting dari Papua. Ukurannya sama besarnya dengan kepiting Srilangka. Satu ekor kepiting ukurannya bisa lebih dari satu kilogram. Dagingnya banyak dan penuh. Tidak akan sia-sia deh mengotori tangan dan mendapatkan goresan-goresan di tangan saat mengopek daging dari dalam cangkangnya. Saya beruntung karena housemate tercinta kerja di Papua dan setiap bulan dia turun gunung. Kadang yang dibawa udang, tapi kalau sedang bulan bersinar, kepiting lah yang jadi buah tangan yang ditunggu-tunggu. Walaupun mengaku sebagai pecinta kepiting, saya dan teman serumah tidak ada yang bisa memasak kepiting. Kami juga tidak tahu bagaimana caranya memotong dan membersihkan kepiting. Cemenk, satu-satunya pria di rumah mungil kami mengaku pernah melihat bagaimana mengolah kepiting. Pelajaran yang dia dapat dari Neneng Anjarwati, chef pastry yang sempat mengolah kepiting dari Kalimantan di rumah tetangga. Dengan hasil browsing, akhirnya didapatlah bumbu kepiting itu. Tapi karena kepiting sudah dikirim ke rumah Mbak Dian, sobat kami yang jago masak dan piawai menangani kepiting, akhirnya kami bertiga meluncur ke rumah Mbak Dian. Sampai di sana, Mbak Dian belum sampai. Masih dalam perjalanan. Kami berteriak girang melihat ukuran kepiting yang besar-besar ini. Kebayang dong enaknya kepiting ini kalau sudah matang. Jujur walaupun kepiting itu menebarkan bau amis, tapi kami tidak peduli. Di dalam kepala sudah terbayang betapa lezatnya menu ini nantinya. Dasar crab addict, Cemenk tidak sabar menunggu Mbak Dian sampai ke rumah. Karena sudah tahu resepnya, akhirnya pria ini nekat untuk memasak kepiting itu. Caranya adalah dengan menggodok air di dalam panci. "Kata Mbak Dian, sebelum dimasak, kepitingnya musti dibersihin dulu non. Musti disikat," kata Linong sambil membaca BBM yang ditulis Mbak Dian. Saya mulai membongkar dapur Mbak Dian untuk mencari sikat. Setelah dapat, saya memegang tali rafia yang diikatkan kebadan kepiting dan membawanya masuk ke tempat pencucian piring dan mulai mengucurkan air dan menggosok badannya. Sungguh ini bukanlah pekerjaan yang menyenangkan dan mudah. Beberapa kali sikat saya dicapit dengan kencang. Kepiting berukuran besar ini melakukan perlawanan yang kuat. Dalam hati saya berpikir, kalau mengolah kepiting begini sulit dan merepotkan, pasti restoran dan pedagang seafood kaki lima pasti kerepotan mengolahnya. Saya merasa apa yang kami lakukan ini pasti ada yang nggak bener deh. Hati kecil saya merasakan itu. Karena saya tahu Mbak Dian nggak mungkin mau memasakkan makanan yang rempong gini. Tapi saya mencoba diam.


dan inilah chef sotoy berdarah dingin ituh

Mungkin karena saya merasa saya yang terlalu manja dan nggak pernah turun langsung ke dapur. Setelah mencoba menyikat tiga ekor kepiting, Linong kembali muncul di dapur. "Non, kepitingnya musti dimatikan dulu,"ucapnya. Saya setuju. Tapi saya bingung, bagaimana cara mematikan kepiting? "Cangkangnya digeprak non," kata Cemenk. Dengan menggunakan ulekan, saya berusaha menggeprak cangkang kepiting. Dua kali geprak, tapi kepiting ini masih bergerak-gerak. Dan saya tidak pernah melihat kepala kepiting yang hancur. Di restoran mana pun cangkangnya selalu dalam kondisi utuh. "Oh, betul. Jangan digeprak. Langsung dimasukkan ke dalam panci aja. Neneng waktu bikin juga langsung dicemplungin," ungkap Cemenk. Kepiting itu pun diangkat dan langsung dicemplungkan ke dalam panci yang bergolak. Linong yang selama kehebohan ini ada diujung pintu menjerit melihat keganasan gaya masak Cemenk. Dia langsung gemetaran, apalagi melihat kaki kepiting ada yang belum masuk semua ke dalam panci. Jadi kaki itu masih bergerak-gerak. Kalau dipikir-pikir memang kayak film horor/slusher gitu deh. Tapi yang paling heboh adalah saat Cemenk menghantam seekor kepiting dengan talenan kayu berukuran besar. Dua kali hantam, cangkang kepiting itu langsung remuk dan ususnya tercerai berai di lantai dapur Mbak Dian. Gaya pembantaian berdarah dingin dan sangat gerwani sekali. Penampakannya benar-benar horor dan di situ kami bertiga mulai terlibat argumentasi. Kayaknya cara pengolahan kepiting yang baik tidak seperti ini. Tapi sekali lagi kami bingung. Dan saat kami mulai bingung dan terdiam di dapur dengan muka bego ditemani oleh Buddy dan Ollie, dua ekor anjing Mbak Dian.


the 3idiots ituh


Untunglah beberapa menit kemudian, Mbak Dian datang dan geleng-geleng kepala melihat kami mengacau di dapurnya. "Aduh Cuy, kenapa berantakan begini sih. Itu kepiting ngapain digodok? Udah sekarang airnya dibuang. Nanti biar mamah yang masak," ungkap mbak Dian. Setelah ngobrol ngalor ngidul selama beberapa menit, akhirnya Mbak Dian masuk ke dapur dan mulai menangani kepiting. "Sebenernya gw udah nggak yakin waktu kalian bilang mau masak sendiri. Gw nggak yakin kalian ngerti caranya. Gini nih cara matiin kepiting. Liat baik-baik ya. Balik kepitingnya. Ditengah itu jantungnya. Tusuk pakai gunting. Tekan. Langsung mati. Gunting dan belah. Bersihin insang dan ususnya. Baru dicuci dan disikat. Gampang kan? Nggak berantakan kayak gitu," ucap Mbak Dian sambil menunjuk kepiting yang sudah belecetan nggak karuan di atas meja. Dan ternyata setelah dibersihin, kepiting itu nggak perlu digodok pakai air panas. Langsung dimasak aja. BUmbunya juga sederhana. Cuma minyak wijen, saus tiram rasa mushroom dan bubuk black pepper. Kepiting yang sudah bersih langsung dimasukin dan dimasak sampai sekitar 30 menit. Nggak perlu pakai garam dan bumbu lainnya. RAsanya sudah manis. Seafood yang masih segar itu rasanya manis dan saat dimasak mengeluarkan air. Bumbu dan cara masaknya boleh sederhana. Tapi rasanya luar biasa enaknya. Apalagi saat mendapatkan daging yang besar dan padat. Dicocol dengan kuah bumbu black pepper sangat luar biasa. Dan jangan takut untuk mengolah kepiting dan jangan mengolah kepiting seperti yang kami (the 3 idiots) lakukan karena sangat tidak berperikepitingan. Menyiksa mahluk yang sangat lezat ini. Dan jangan lupa minum segelas air kelapa hijau untuk menetralisir kolesterol yang mungkin bersarang


hasil olahan setelah mendapat ilmu dari Master Chef Maria Dian Patriani (hail to the Master)

Sunday, April 10, 2011

Most Wanted : Ma Icih



Belakangan ini keripik dan kerupuk gurilem super pedas berlabel Ma Icih jadi bahan pembicaraan banyak orang. Mereka semua penasaran mencoba seperti apa sih rasa keripik dan kerupuk super pedas ini? Banyak yang kecele dan mencari produk ini di mal dan supermarket jaringan internasional. “Saya sudah cari kesana-kemari kok sampai sekarang belum ketemu produknya?” tanya seorang teman. Pertanyaan lain muncul lewat BBM, YM, twitter bahkan ada beberapa orang yang bertanya akibat status facebook seorang teman yang menangis karena dihantam kedahsyatan rasa pedas Ma Icih. Mendapatkan produk Ma Icih memang tergolong gampang-gampang susah. Buat mereka yang aktif di jejaring sosial twitter tentu tidak begitu sulit mengetahui di mana para Jenderal Ma Icih (panggilan bagi distributor produk Ma Icih,red) mangkal. Tapi buat mereka yang tidak terbiasa berkelana di jejaring sosial tentu saja susah. “Waduh,m saya kan nggak punya twitter dan nggak bisa main twitter. Gimana bisa tahu mereka jualan di mana,” keluh seorang teman yang sudah seminggu ini heboh mencari Ma Icih.

Cara pendistribusian produk yang digawangi Reza Nurhilman sebagai President Ma Icih ini memang unik. Hanya dengan menggunakan jalur jejaring sosial. Bahkan para Jenderal Ma Icih tidak kalah unik saat menjalankan tugasnya. Biasanya para Jenderal Ma Icih ini berjualan dengan menggunakan kendaraan. Suatu hari, seorang teman yang tinggal di Jakarta membeli kerupuk gurilem Ma Icih di tempat yang sudah disebutkan. Saat menggelar dagangannya, si Jenderal Ma Icih ini tidak mau dikenali dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Seolah tak mau dikenali. Benar-benar bikin penasaran. Seorang teman malah berniat membuat poster bertuliskan, Most Wanted : Ma Icih saking putus asanya.

Kesulitan mencari produk Ma Icih ini mengingatkan pada Pia Legong yang ada di Bali. Dua tahun lalu, kami mendengar tentang Pia Legong dari seorang teman. Di pertengahan 2009, kami mencicipi Pia Legong untuk pertama kalinya. Untuk mendapatkannya memerlukan adu urat syaraf dengan kasir. Waktu itu sekotak Pia Legong rasa Keju (rasa yang paling favorit dan paling enak) hanya 35 ribu rupiah. Pada 2010, saat jalan-jalan ke Bali, seorang temnan mengeluh karena harus pesan 3 minggu sebelumnya dan tidak bisa datang dan beli langsung. Tapi pada kenyataannya saya datang ke ruko di Bypass Ngurah Rai dan berhasil mendapatkan 8 bungkus Pia Legong rasa keju dengan harga per bungkus sudah melonjak ke angka 50 ribu rupiah. Pertanyaannya, apakah produk-produk itu begitu langka dan sulit untuk didapatkan? Jawabannya : Tidak!. Setiap kali datang ke ruko dan sedikit ngotot, pasti dapat kok. Dan untuk Ma Icih juga sama. Buktinya, ada yang menjual keripik Ma Icih di kantin SMAN 11 Bandung. Artinya, tidak terlalu susah juga. Meskipun tidak disemua tempat tersedia varian yang sama. Di Jakarta, varian yang paling sering dijual adalah kerupuk gurilem. Sementara Ma Icih sekarang ini sudah mengeluarkan produk kerupuk baso goreng yang tidak kalah enak dan bikin mata melek dan lidah panas. Penasaran kan? Bagaiamana kalau kita rame-rame pasang poster, Most Wanted : Ma Icih!

Monday, April 4, 2011

The Birth of Bidadari Mungil

Mata saya berkaca-kaca dan tenggorokan tercekat saat Amy, sahabat saya yang bersuara cempreng itu menelpon di suatu siang di awal bulan April. "Mutz, naskah loe udah gw kasih ya ke boss Teuku. Dia mau ketemu loe. Selamat ya Mutz," ucap Amy dengan suara super duper ceria. Saya mengusap air mata yang mendadak mengalir di pipi. "Serius loe My?" tanya saya setengah tidak percaya. "Iya Mutz. Udah loe jangan sedih lagi yaaa. Mulai dari sekarang loe musti siap-siap. Loe belajar dari gw. Ntar malam kita ngobrol deh di tempat biasa," ucap Amy sebelum hubungan telpon kami putus. Saya terduduk di bangku dan langsung menutup mata dan berdoa. Mengucapkan terima kasih pada Tuhan karena apa yang selama ini saya cita-citakan sebentar lagi akan terwujud. Saya menyebutnya sebagai bayi saya. Sebuah catatan perjalanan saya yang dibukukan. Mungkin sebagain orang berpikir, punya buku bukan sesuatu yang istimewa. Banyak orang yang sudah berhasil menerbitkan buku. Saya aja yang lebay menanggapinya. Meskipun saya mengaku kadang-kadang saya suka lebay bin jijay plus ngedangdut banget, tapi untuk yang satu ini saya merasa tidak lebay menanggapinya. Rasa bahagia saya untuk terbitnya buku ini tidak lebay. Saya mempersiapkan buku ini selama kurang lebih setahun. Memulai perjalanan yang panjang bersama seorang sahabat bernama Tari Djumino. Mengumpulkan uang yang ada dan memulai perjalanan. Setelah semua persiapan selesai, ketika semua catatan sudah ditulis, saya mendapat pukulan hebat. Majalah tempat saya bekerja ditutup. Hati saya hancur berantakan, karena majalah ini seperti anak saya sendiri. Saya ingat bagaimana rasanya membuat konsep majalah ini dari awal. Membuat dummy, presentasi di depan BOD, memilih wartawan dan fotografer, memulai liputan, dan seringkali ikut jalan dengan AE untuk presentasi dengan klien. Tubuh saya masih merasakan beratnya tidur di kantor selama dua malam dan weekend yang saya habiskan untuk deadline di kantor. Hati saya masih sering teriris melihat tumpukan majalah yang tersimpan rapi di sudut rumah saya. Di saat-saat seperti itu, ketika kegagalan menghantam kepercayaan diri dan meremukkan emosi, saya berusaha bangkit dan percaya masih ada kesempatan untuk mimpi saya yang lain. Mimpi saya untuk sebuah buku berisi catatan dari si bidadari mungil, saya.

Saya seorang jurnalis. Sampai kapan pun, saya merasa itulah jati diri saya yang hakiki. Ketika saya mulai menulis catatan bidadari mungil, finger prints saya sebagai seorang jurnalis terlihat jelas. Sesuatu yang langsung menerbitkan kritikan yang pedas dari Amy aka Miss Jinjing yang sudah menelurkan 6 buku best seller. "Muts, loe nulisnya kok kayak artikel di majalah sih? Untuk buku you should write it differently," ungkap Amy suatu malam sambil melahap Pizza Domino. Malam itu Amy mengajar saya bagaimana menjadi penulis buku yang baik. Dan malam itu, saya merombak kembali catatan itu dan membuatnya dengan berbeda dan saya merasa sangat bahagia dengan hasilnya. Sebuah catatan yang membuka dengan jelas, siapa saya dan bagaimana saya.

Bidadari Mungil? Semua orang yang membaca dan melihat saya pasti langsung merasa heran. Ukuran saya di mata mereka tidaklah mungil. Tapi itu menurut mereka lho. Menurut saya, mungil abis. Saya merasa tidak ada bedanya dengan Dayana Mendoza, Miss Universe itu. Hampir semua teman dekat memanggil saya dengan panggilan mungil atau imut. Tidak ada yang berani memanggil saya Ndut atau yang sejenisnya. Lalu apa hubungannya dengan bidadari? Nama tengah saya adalah Hapsari yang kalau diterjemahkan berarti bidadari. Nama itu pemberian alm papa karena di matanya saya adalah seorang bidadari. Meskipun kelakuan dan sikap saya tidak seperti bidadari. So, jadilah bidadari mungil.

What's in it? Kalau saya beberkan jadi spoiler dong! Yang pasti, saya suka jalan-jalan dan saya sangat suka makan. Go figure it out!

So, this is it....The Birth of Bidadari Mungil and the journey begin.........