Saturday, September 3, 2011

Bajigur Durian dan Ladu khas Soreang

Setiap Lebaran, mama pasti ngajak gw nengokin eyang putri sambil halal bilhalal ke Soreang. Meski jauh dan pasti macet gila-gilaan, kami tetep berangkat ke sana diantar oleh si dukun, mobil yang umurnya cuma 2 tahun lebih muda dari umur gw. Sebenarnya, kalau mau jujur, jalan ke Soreang di tengah kemacetan dengan si dukun nggak terlalu nyaman sih. Setir nggak power steering, AC-nya lebih sering nggak nyala ketimbang nyalanya dan beberapa hal lain yang membuat kenyamanan bukan sesuatu yang bisa diharapkan. Tapi apa boleh buat, hanya si dukun lah yang available. Tahun ini, kami kembali berjalan ke Soreang menemui eyang putri aka Ibu Hj. Siti Saojah. Gw manggil eyang putri dengan sebutan Eyang Soreang sesuai dengan lokasi tempat beliau tinggal. Seperti biasanya, begitu memasuki daerah Kopo, jalanan langsung macet dan panas matahari menyengat dengan terik. Perjalanan 25 km itu ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 jam. Satu setengah jamnya terjebak di Kopo tentu aja.

Selain ketemu dengan eyang putri dan ngobrol2, berkunjung ke Soreang juga terasa berbeda karena makanan yang disajikan sangat berbeda yang biasanya ada di rumah-rumah lain. Di Soreang, saya tidak akan mencari nastar, kaastengels, atau kue-kue Belanda lainnya. Kalau ke Soreang yang saya cari adalah opak dan Ladu. Opak sebenarnya makanan khas Garut. Jenis opak yang saya suka terbuat dari ketan dan rasanya enak banget. Sementara ladu adalah makanan yang bentuknya seperti dodol yang dibuat dari ketan hitam. Dulu, waktu masih sehat, biasanya eyang yang membuat sendiri ladunya. Dan setiap tahun, eyang sengaja menyimpan ladu di kamarnya khusus buat kami bawa pulang. Supaya tidak dihabiskan oleh tamu lainnya. Eyang tahu, wajah kami bakal berseri-seri kalau dapet oleh-oleh ladu dan opak.

Bulleted ListBiasanya kami melakukan barter. Menu lebaran seperti ketupat, opor dan sambal goreng mama yang buat dan kami makan bareng di Soreang dan eyang membekali kami dengan ladu dan opak. Paling nggak ada dua puluh bungkus ladu yang kami bawa pulang. Sebagian besar sih dimakan sendiri dan sisanya dibagi2in ke saudara2 yang lain, seperti Sutetiwati yang pasti langsung ngiler dan ngeces kalau dibilang ada ladu di rumah.

Walaupun di rumah Eyang, kami sudah dijejali berbagai jenis makanan, pulangnya tetep aja jajan. Ada beberapa jajanan yang kami suka di Soreang. Salah satunya bakso. Di daerah Soreang, baksonya terkenal berukuran besar. Sebesar bola tenis. Cukup makan satu langsung blenger dan mendem kekenyangan. Bakso di sini rasa dan kualitasnya boleh diacungin jempol. Mantap man. Mirip-mirip deh dengan rasa bakso di Garut yang ukurannya juga nggak kalah jumbo. Pokoknya di Soreang, tukang bakso yang majang bakso dengan ukuran paling fantastislah yang paling banyak dikunjungi orang. Dan di Soreang, pada saat Lebaran, tukang bakso ini paling laku. Mau makan aja musti ngantre. Yang beli dan ngantre sebagian besar mobil-mobil keren.




Selama bertaun-taun, ritual ini yang kami jalankan setiap Lebaran hari pertama tiba. Tapi tahun ini ada sedikit perubahan itinerary. Tepatnya tambah tempat mampir. Ini gara-gara saat memasuki kota Soreang saya melihat warung (benar-benar warung yang rumek dan jelek). Meski sedikit "kumuh" saya tetap penasaran untuk mampir karena di depan warung tertulis Bajigur Durian. Ini yang mantap. Memadukan dua hal yang saya suka. Bajigur dan Durian. Mantap pasti. Kalau saya sangat antusias, berbeda sekali dengan mama. Beliau sama sekali tidak mau turun. "Mending di mobil aja deh. Tempatnya nggak enak deh kayaknya," tuding Mama. Akhirnya cuma saya yang turun dengan mata berbinar-binar dan muka mupeng. Saya sudah sangat penasaran. Satu hal yang saya sadari, mereka menambahkan kopi dalam adonan bajigurnya. Setelah disiram bajigur panas dan dikocok, dimasukanlah potongan durian itu ke dalam gelas. Ada sedikit rasa mahteh saat mencampur potongan durian dengan hisapan bajigur. Tapi lama kelamaan, rasa mahtehnya hilang kartena ada aroma kopi yang cukup kuat.



Bajigur durian ini menurut saya enak. Ramuannya pas. Tapi lebih enak lagi kalau durian yang dipakai kualitasnya lebih bagus. Durian montong kayaknya bakal enak banget. Atau durian Medan deh kalau mau yang lokal. Biar mantap. Susahnya, harga jadi harus dinaikkan. Untuk kawasan Soreang, segelas bajigur dengan harga di atas sepuluh ribu rupiah nggak bakalan laku. Harga segelas bajigur ini yang cuma 7000 rupiah saja sudah dianggap cukup tinggi.