Thursday, January 26, 2012

Ngerumpi Berkarakter di Bonchon Chicken

Biasanya, kalau orang lagi diet, dalam seminggu mereka punya satu hari buat "cheat". Mereka boleh makan makanan tidak sehat favorit mereka. Nah itu kan kalau orang normal yang diet. Tapi kalau tukang makan yang diet, banyak banget alasan buat "cheat". Tapi bukan berarti nggak komit dengan diet yang dijalaninnya lho (ngeles kayak bajaj). Eniwei, kategori yang hobi ngeles begini adalah kategori saya dan teman-teman. Walaupun sudah sepakat dan berjanji untuk diet dan hidup sehat serta tidak slebor lagi, bukan berarti minat untuk mencoba makanan dan "cheat" berkurang. Begitu dengar Bonchon Chicken mau buka di Jakarta, langsung kami heboh. Masalahnya kami sudah pernah mencoba yuang originalnya di Korea sana. Jadi kami penasaran dong untuk mencoba bagaimana rasanya kalau dibawa ke Indonesia.

Maka saya, Tari dan Uci (trio gembul) berjanjilah untuk bertemu di Grand Indonesia. Meski sudah puluhan bahkan ratusan kali ke Grand Indonesia, tetap saja masih suka bingung antara East dan West. Setelah ribut dan heboh di mana bertemu, akhirnya kami bertemu di sebuah kedai kopi dan langsung berjalan menuju restoran Bonchon. Sebelum sampai di Bonchon sebenarnya Uci sudah memberi ancer-ancer lokasi restoran ini. "Pokoknya ada diseberangnya Hangang, Neng," tulisnya di BBMnya. Kami pun naik dan sampailah di tempat yang dituju. Karena rasa lapar sudah melanda, kami langsung menuju counter untuk segera memesan. Tidak terlalu ramai. Masih banyak kursi yang kosong. Setelah memandangi daftar menu, kami memesan ayam (thight) ukuran large, bulgogi salad, fish fries ukuran small, kimchi (maunya sih pesen sup kimchi tapi malam itu semua jenis sup tidak tersedia) dan air mineral. Karena masih berusaha mempertahankan diet, kami tidak memesan nasi atau french fries (bukan berarti nggak ngiler dan setengah mati nahan keinginan)

Untuk ayam gorengnya, rasanya manis dan pedas. Tapi masih dalam kategori pedas2 biasa deh. Bukan pedas yang menggigit. Bagian kulitnya kering dan renyah (menurut Tari dan Uci. Saya nggak makan kulit. Bukan karena kolesterol tapi emang karena dari jaman dahulu kala nggak demen n nggak doyan kulit). Dagingnya empuk tapi sayang bumbunya masih belum meresap sempurna sampai ke dagingnya. MAsih kalah enak sama ayam Kyochon favorit kami. Saya malah lebih tertarik dengan fish friesnya karena terbuat dari daging ikan dori. Bulgogi Saladnya enak. Segar dan menyehatkan (menurut saya lho!). Tapi yang paling juara adalah Ice Cream Mochinya. Es krim vanila yang dibalut mochi ini enak banget. Sayang, malam itu saya hanya bisa makan satu potong saja. Karena sisanya keburu dihabiskan oleh Mona, pria berkarakter yang datang bergabung bersama kami.

Setelah memaki panjang lebar pada Uci karena salah memberi arah (menurut Uci, Bonchon ada di seberang Hangang). Sebenarnya posisi Bonchon ada satu lantai di atas Hangang. Pantas saja Mas eh Mbak eh Mas Mona pusing muter2in lantai itu dan nggak ngeliat Bonchon. Untuk meredakan ocehan Mbak eh Mas eh Mbak eh Mas Mona, disodorkanlah es krim dan dua potong ayam. Ternyata es krim mochi itu lebih menarik minatnya. Dan membuatnya makin bersemangat untuk ngoceh, membujuk Tari mengadopsi 12 anak kucing kampungnya dan mengorek apakah saya lebih suka pria atau wanita (lebih tepatnya menuduh saya lesbian. Biar dia punya bahan buat bergosip). Eh, keceplosannnnnnn!!!! (hahahaha. Maaf kakak, tapi saya tidak menyebutkan seorang pria yang memberimu kue ulang tahun kan? Eh, keceplosannn lagi)

Well, setelah ngobrol nggak penting tapi berkarakter, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing dan berjanji untuk mengulang acara makan-makan bersama di lain waktu. Dalam hati kami semua menjerit..."makan makan mulu..kapan dietnya??"

Tuesday, January 17, 2012

Delicious Healthy Food

Diet adalah satu kata yang tidak bisa sama terima dalam logika dan tidak bisa saya terapkan dalam kehidupan saya sehari-hari, because I love food.
Saya begitu mencintai makanan dan rugi rasanya kalau terpaksa harus menahan menikmati makanan yang enak. Jadi buat saya, diet menjadi tidak rasional dan tidak wajar untuk dilakukan. Sampai, satu hari saya membaca laporan kesehatan yang isinya mengerikan. Meskipun saya punya alasan mengapa laporan kesehatan saya seperti rapor yang kebakaran, tapi saya tidak bisa tutup mata melihat wajah ibu saya yang merana dan seperti mau menangis jejeritan. Ok, saya mengerti. Dia tidak mau saya mati muda karena gaya hidup slebor (kerja seperti kuli, kurang tidur, makan kacau). Saya pun mengalah. Saya datang ke dokter dan mau tidak mau, saya mendengar kata itu lagi. Diet. Kata yang bertentangan dengan hati nurani dan harkat serta martabat saya sebagai seorang foodlover. Apa boleh buat, saya tidak ingin menyakiti hati nyokap dan saya juga tidak mau mati muda gara-gara hidup saya yang slebor, TAPIIIIII saya juga tidak mau makan makanan yang tidak bisa saya telan. Ok, saya akan DIET, tapi makanan yang saya makan tetap harus enak di lidah. So, makanan diet buat saya syarat utamanya harus enak dulu. Karena kalau makanan itu tidak enak, bagaimana saya bisa melanjutkan diet sampai tubuh saya normal?? Saya khawatir, baru 3 hari saya sudah menyerah karena rasa makanannya sama sekali tidak eatable. Terserah orang mau bicara apa mengenai prinsip saya ini, tapi nggak ada orang yang mengenal tubuh saya sebaik saya. So, I know what I need and I know what I want and I know what I can do or can't do.

Dan, hari pertama diet pun dimulai. Rasanya seperti apa????? Mau Matiiiiiiiiiiiiii rasanya. Benar-benar mau mati. Bagaimana tidak? Pagi-pagi, saya tidak bisa sarapan menu yang biasanya. Menu saya benar-benar berubah. Pagi-pagi, bangun tidur saya minum air putih dengan perasan lemon dan sarapan buah. Sehat kan? Betul. Sehat. Tapi perut saya tidak henti berbunyi sepanjang hari dan air liur saya tidak berhenti mengalir, apalagi melihat Ichal jajan gorengan. Oh Goddddddddddddddddddddddddd. It's so unfair. But, I made up my mind. Harus tahan.

Hari pertama berhasil saya lewati dengan sukses. Walaupun, ya rasanya kayak mau mati itu tadi. Akhirnya supaya tidak terlalu merana, saya membuat menu yang menurut saya sehat tapi enak di lidah. Dan inilah beberapa menu favorit saya :

Wheat Bagel isi Tahu Jamur
Bahan :
- 1 bagel, dipotong 2
- 1/2 potong tahu China (diulek)
- 1 ons jamur kancing, potong-potong kecil
- 2 buah cabai rawit, iris tipis
- 1 putih telur
- selada
- 1 sdm olive oil
- garam
- black pepper

Cara Membuat :
- ulek setengah potong tahu China sampai lembut, tambahkan garam, blackpepper, cabai rawit dan putih telur. Aduk hingga merata.
- Panaskan olive oil dan bentuk adonan tahu bulat seperti burger. masak sampai matang. Angkat dan turiskan.
- Lapisi bagel dengan daun selada dan letakkan tahu yang sudah matang ditengah-tengah.
Dan siap deh dimakan

Jujur menu iseng-iseng ini rasanya enak dan karena saya suka, maka saya share lah menu ini buat semua orang yang sama seperti saya. Mau sehat tapi tetep makan enak.

Saturday, January 14, 2012

Demi Sepotong Red Velvet Cake di Union






"Loe udah pernah ke Union belum cong?" tanya teman suatu hari lewat BBM.
"Belum cuy. Belum ada kesempatan kesana. TApi udah denger sih kehebohannya!"
Saya sudah mendengar tentang tempat ini sudah beberapa bulan yang lalu. Tapi lagi-lagi urusan pekerjaan yang membuat saya belum sempat menginjakkan kaki ke tempat itu dan mencoba makanan yang ada di sana. Beberapa kali saya mau mengajak klien meeting di sana tapi selalu terhalang dengan alasan fully booked. Dan karena ini urusan pekerjaan dan klien, saya tidak mau ambil resiko tidak dapat tempat. Jadi saya memang belum kesampaian mampir ke tempat ini.
Jujur, saya sangat penasaran dengan tempat yang lagi hip ini. Bayangkan, walk in customer tidak bisa langung masuk dan harus menunggu beberapa jam. Saya tidak percaya, sampai akhirnya neng Uchi ngoceh panjang lebar soal itu. Sudah menunggu tiga jam pun masih belum dapat tempat. Saking tidak sabarnya, Uchi memilih pergi dari situ. Kalau saya jadi Uchi, saya pun akan melakukan hal yang sama. Tapi saya ingin tahu, apa yang membuat orang rela menunggu begitu lama untuk masuk ke tempat ini. Is it the food? or the atmosphere? or just another marketing trick from the management.
Akhirnya, saya memutuskan untuk datang kembali ke Union. Kali ini untuk makan malam bersama nyokap dan Tari plus sang pembantu. Pagi-pagi saya menelpon ke Union dan mendapat jawaban yang sudah saya bayangkan sebelumnya. Resto fully booked dan saya hanya bisa masuk ke daftar waiting list. Oh, I don't mind about it. Toh kalau harus sampai menunggu lama, masih banyak restoran di Plaza Senayan yang bisa saya datangi.
Begitu sampai di Union, saya harus menunggu sampai dipersilahkan duduk oleh waitress yang tidak ramah dan sedikit jutek. Saya beruntung karena tidak harus menunggu lama. Dalam waktu 15 menit si waitress jutek itu mempersilahkan saya duduk. Saya dan nyokap duduk selama 15 menit sampai seorang waitress meletakkan tatakan meja dan alat-alat makan. Kami harus menunggu 10 menit lagi sampai pelayan yang sama datang membawakan buku menu. Sambil menunggu, saya menikmati suasana di Union. Karena saya datang pada saat makan malam, lampu yang temaram dengan nuansa New York terasa sangat cozy tapi satu sisi saya seperti teringat dengan Loewy yang masih berada di satu management dengan Union. Ada kesamaan yang nyata sekali. Yang unik dari Union justru taman yang berada di belakang yang unik dengan pohon yang dihiasi lampian yang berpindar terang di malam hari. Memberi kesan hangat dan nyaman.
Giliran pesan makan, kepala saya mulai berputar. Pesan apa ya? Akhirnya saya memesan Caesar Salad, Grilled Pork Ribs, Spagetti Aglio Olio, Spagetti Carbonara dan Meatball with meled Cheese. OK, Sebelum kalian menyebut saya rakus, itu adalah pesanan untuk 4 orang. Jadi masih bisa dikategorikan wajar. Untuk Caesar Saladnya saya bilang enak. Walaupun tidak spektakuler. Begitu juga dengan Grilled Pork Ribsnya. Bumbunya meresap dan matangnya pas. Tapi ya, itu aja. Kalau dibandingkan ama Nuri's mah ya jauh lah. Intinya biasa ajah. Menu lainnya juga B banget. Sumpah B ajah. Kami makan tanpa antusias dan membayangkan betapa nikmatnya menu yang kami makan ini kalau dipesan dari restoran Italia yang ada di mega Kuningan.
I'm not happy with Union. Makanannya biasa dan pelayanannya jelek banget. Beberapa kali pelayan datang membawa menu yang tidak kami pesan. Membuat saya berpikir, apa tidak ada sistem yang benar sampai pesanan bisa kacau balau? I know the place is pack with people, but still, it's not an excuse yahhh. Malam itu, setelah foto-foto di taman belakang, kami pulang, dengan perasaan yang tidak terlalu bahagia. Makanan yang dipesan tidak memuaskan dan saya gagal mencoba Red Velvet Cake yang begitu menghebohkan. "Kami hanya membuat seratus potong per hari,"kata salah seorang pelayan.

Well, karena malam itu tidak berhgasil memesan Red Velvet, saya kembali lagi ke Union. Kali ini tujuannya hanya satu. Mencoba Red Velvetnya. Kali ini nggak ada yang nemenin dan cuma bisa duduk sendiri di Minggu siang yang mendung sambil memandang red velvet cake yang berada di depan mata. Mengundang liur. Satu yang menarik, red velvet cake ini ditaburi potongan kacang pistachio. Rasanya memang enak dan one of the best. I agree with some people who adore the red velvet cake in this place. Kalau saya harus mengantre demi sepotong Red Velvet Cake yang dibandrol dengan harga 50 ribu rupiah ini rasanya saya tidak keberatan. Tapi kalau harus antre demi menu lainnya, saya akan bilang, No Way.
So bisa dibilang, Union is save by the Red Velvet Cake.

Thursday, January 12, 2012

Nongkrong di Jazz Cafe di Bali Lane, Singapore




Dipenghujung 2010, saya dan Miss Xanaxwati berencana merayakan ulang tahun tante linong di Singapura. Kebetulan Air Asia mengeluarkan tiket murah. Tiket sudah ditangan dan itinerary yang terdiri dari nongkrong, dugem dan shopping tiada henti sudah dipersiapkan.

Menjelang hari keberangkatan, yang berulang tahun harus kembali ke Papua tempatnya bekerja dan rencana awal gatot alias gagal total. Tapi saya dan Miss Xanaxwati memutuskan kami pantang mati gaya. Itinerary berubah total, dan mendadak banyak titipan, termasuk bertemu dengan salah seorang kontributor majalah tempat sahabat saya bekerja. Kami si kontributor bekerja di Singapura,pertemuan dijadwalkan sore hari, kurang lebih jam setengah enam sore. “Saya tunggu di Blue Jazz ya,” tulis si kontributor itu. Sahabat saya menoleh dengan
bingung kearah saya. “Blue Jazz di mana sih?” tanyanya dengan kening berkerut.
Saya buru-buru menggelengkan kepala. Kalau tanya hawker center, saya pasti bisa
menjawab. Tapi kalau cafe, saya langsung angkat tangan. Hanya beberapa kafe di
Singapura yang saya tahu benar. Kami sibuk mencari sampai akhirnya si
kontributor kasian dan kami bertemu di tempat lain dan setelah ditraktir makan
malam kami pulang dan melewati Blue Jazz kafe. Begitu saya melihat tempatnya,
saya langsung pengen mampir. Tapi sudah jam 10 malam. Akhirnya saya memutuskan
besok malam, sebelum pulang ke Jakarta, saya mau ke sini dulu.
Eh, ternyata boro-boro mampir, yang ada kami tergopoh-gopoh ke bandara karena takut
terlambat. Akibat belanja yang tiada terkontrol, koper beranak pinak dan kami
harus mengatur agar tidak kelebihan bagasi. Mimpi saya untuk bisa nongkrong dan
cuci mata di Blue Jazz langsung pupus. Empat bulan kemudian saya baru bisa
mampir ke tempat ini. Kali ini saya sudah siap. Dandan yang manis. Pakai parfum
yang top abis dan sepatu yang membuat semua mata menoleh. Tampil gorjes wajib
hukumnya. Secara kafe ini tempat ngumpulnya ekspatriat dan eksekutif muda yang
menikmati beer atau wine seusaingantor.
Yah, namanya juga jomblo gembira toh. Harus usaha. Siapa tahu bertemu oranng yang sudah meminjamkan rusuknya padaku. Jiahhhhhhhhhh. Seriously, selain enak buat dijadiin tempat perngecengan (kata-kata ini terlalu jadul nggak ya?) suasananya juga enak. Tamu biasanya memenuhi bagian luar kafe sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Suasana yang nyaman inilah yang membuat saya kembali lagi ke kafe ini. Semata-mata untuk menikmati suasana. Bukan karena makanannya.
Saya lebih suka duduk sambil menyesap segelas cocktail dengan ditemani calamari atau chicken wings. Tempatnya sudah terlalu nyaman. Begitu juga dengan crowd-nya.Karena saya yakin, sebagian besar orang yang datang kemari karena ingin menikmati suasana.

Blu Jazz
11 Bali Lane, Arab Street
Jam Operasional
: 13.00-24.00
Harga : 5-30 SGD

Es Krim Jadul Super Yummy @Saigon


Who can resist a cup of sweet ice cream? Jawabannya NoOne lah. Mana ada yang mau nolak es krim, apalagi yang disajikan di KemBach Dang, salah satu kedai es krim paling tua dan popular di Ho Chi Minh City.Rasanya nggak kalah dengan es krim di restoran Perancis. Ada puluhan rasa yangtersedia. Mulai rasa standar seperti vanilla, stroberi, coklat, kopi, duriansampai rasa talas. Pengunjung bebas memesan per cup atau bisa juga memilih menu yang disediakan. Bentuknya cantik dan bisa dilihat di daftar menu. Sudah ada foto yang memajang menu yangdisebutkan. Kita bisa memilih tiga rasa es krim. Rasa durian dan talas jadifavorit kami. Serat buah durian terasa saat menyendok es krim. Benar-benarterbuat dari sari buah durian, bukan sekedar essence. Begitu juga dengan rasaes krim talas. Manis dan gurih. Perpaduan yang bikin kangen. Enaknya lagi, jika memilih menu khusus, biasanya ada tambahan buah-buahan.


Seperti saat saya mencoba Kem Trai Dua, yang disajikan dengan buah kelapa utuh. Ada tambahan buah naga, stroberi, selai nanas dan semangka. Jadi benar-benar segar. Selain es
krim, ada juga pie dengan isi daging babi. Kulit pienya garing dan renyah.
Isiannya juga gurih. Lumayan jadi pengganjal perut kalau mendadak lapar
datang.
Paling enak datang ke sini sore hari. Sambil nongkrong dan cuci mata. Walaupun banyak yang datang dengan pasangan, ada beberapa juga yang datang sendiri tanpa pasangan atau datang
dengan teman-teman. Sasaran empuk buat yang hobi makan es krim sambil cari
jodoh. Efektif kan? Sambil menyelam minum air. Ide yang sangat cemerlang bukan?

KemBach Dang
26-28
Le Loi Street, Distrik 1
T: +84835292707
Jam Operasional : 10.00-22.00
Harga: 20.000-50.000 VND
CreditCard : Available
Food: Ice Cream
Service: A Bit Slow but still nice
Atmosphere: AC and café style