Wednesday, August 25, 2010
Backpacker Centil
Kalau ngedenger kata backpacker, otomatis orang berpikir tentang wisatawan kere dengan tas ransel setinggi badan dengan duit terbatas, tidur di hostel murahan dan makan ala kadarnya. Nggak salah juga sih. Beberapa tahun yang lalu, saya seperti itu. Berani jalan-jalan dengan duit ngepas. Yang penting bisa melihat tempat baru. Tidur di mana pun terserah deh. Makan apapun yang penting kenyang. Nggak mau rempong beli oleh-oleh. Pokoknya jalan-jalan sehemat mungkin.
Tapi, itu dulu
Sekarang, dengan usia yang semakin bertambah, rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk traveling dengan gaya seperti itu. Ya, saya masih berjiwa backpacker dan masih bergaya backpacker. Artinya, saya masih menggendong tas ransel besar setiap kali bepergian, kecuali untuk urusan dinas. Karena membawa kopor sambil turun naik subway sangat tidak nyaman. Tapi gaya traveling saya sudah berubah. Saya masih mupeng cari tiket pesawat murah. Tapi saya nggak mau lagi tidur di hostel seharga 70 ribuan semalam dengan tempat tidur bertingkat. Alasannya sih sederhana saja. Dengan badan saya yang "mungil" ini, rasanya parno aja kalau harus tidur di kasur bertingkat. Kalau lagi tidur nyenyak tioba2 gw ngimpi terjun payung trus nglundung ke bawah gimana? Alasan kedua, yakin kayu palang kasurnya kuat nahan beban yang berat? Siapa tau kayunya udah lapuk. Giliran dipake gw, kasur ambruk ke bawah!! Sakitnya sih mungkin nggak seberapa. Tapi malunya kan luar biasa. Bisa ngalahin sakit akibat benjol2.
Karena alasan-alasan itulah sekarang ini, setiap kali traveling, meski budget dibatasi, paling nggak saya selalu mencari kamar yang privat. Hanya untuk dua orang dan harus ada AC. Ini wajib. Saya nggak mau tengah malem masih kipas2 kayak tukang sate. Bangun pagi bukannya seger tapi malah bete. AC ini khusus di kawasan Asia Tenggara dan bukan di Eropa pada saat musim dingin ya. Gw nggak mau jadi patung es gara2 kedinginan. Selain AC, hostel, mini hotel itu harus dilengkapi dengan wifi, yang gratis tentu saja. Biar komunikasi dan eksistensi diri masih bisa tetap terjaga. Memang sih biasanya di hostel atau hotel mini itu selalu ada PC yang bisa digunakan, tapi biasanya selalu saja fully occupied alias banyak penggemarnya. Lagian males kan diliat orang kalau situs yang kita buka nggak penting banget (weitsss, bukan situs porno lho yang dimaksud. Tapi situs2 sosial seperti fb atau twitter atau blog ini). Preference yang berikutnya, tempat menginap sebaiknya dekat dengan stasiun MRT atau Subway atau halte bus. Supaya memudahkan transportasi. Maklum sudah sepuh, jadi kalau jalan kelamaan biasanya gempor dan malemnya kamar bau PPO, minyak kayu putih dan perlengkapan nenek-nenek sejenis.
Perubahan nggak cuma dari urusan tempat nginep. Urusan makan juga jadi lebih pemilih. Dulu makan mie instant atau makanan street food seadanya nggak masalah. Sekarang? Wah udah nggak bisa lagi. Tiap kali traveling selalu ada budget khusus buat nyobain restoran atau tempat ngopi yang cozy. Abis jalan2, nongkrong. Ngobrol-ngobrol nggak jelas sambil duduk2 manis di atas sofa yang comfy. Intinya, kenyamanan harus ditingkatkan. Mungkin ada yang nanya, kenapa harus makan di resto? Sok banget. Nggak juga sih. Beberapa tahun belakangan ini, saya merasa bahwa cara paling ampuh untuk mengetahui dan meleburkan diri dalam budaya suatu negara bisa dilakukan melalui makanan. Dari makanan tradisional itulah saya jadi tahu bagaimana karakteristik sebuah bangsa. Cara mereka makan dan bagaimana mereka berinteraksi satu dengan lain. Belakangan ini saya merasa, life is short. so, makes the best of it.
And sekarang saya berfotomorfosa dari backpacker dekil jadi backpacker centil.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment