Sabtu siang di tahun 2004, saya dan mantan pacar berencana jalan-jalan ke daerah Seremban, kota tempat orang tuanya tinggal. Tapi rencana tersebut gagal karena sahabat si mantan membelokkan rencana kami dan mengajak ke Batu Cave. Saya masih ingat wajah Prakash, sahabat mantan saya yang berbinar-binar nakal saat menyebut Batu Cave. Saya belum pernah ke sana dan tidak tahu seperti apa Batu Cave. Perasaan sudah tidak enak ketika kedua pria ini meminta saya mengenakan pakaian yang santai dan sepatu flat. “Batu Cave is a beautiful garden. So, you have to wear comfortable shoes. It’s very nice place and we can have the best Indian food there,” bujuk Prakash sambil tersenyum. Saat saya memandang mantan pacar, dia hanya tersenyum dan menaikkan bahunya. Batu Cave berada di distrik Gombak, Selangor yang berjarak kurang lebih setengah jam dari Kuala Lumpur. Begitu mobil masuk ke area parkir, saya langsung tahu saya masuk ke dalam jebakan Prakash. “Where is the garden, Prakash?” saya bertanya dengan sebal. Prakash tidak menjawab pertanyaan saya. Dia hanya tertawa terbahak-bahak sambil setengah menyeret saya keluar dari mobil.
Batu Cave merupakan salah satu tempat tempat suci umat Hindu yang konon sudah berusia 400 tahun. Batu Cave menjadi tempat pemujaan Dewa Muruga. Di pintu masuk berdiri patung Dewa Muruga setinggi 42,7 meter yang disepuh dengan cat emas yang khusus diimpor dari Thailand. Pada saat pertama kali saya datang, patung Dewa Muruga ini masih dalam proses pembangunan. Tapi kali kedua saya datang, patung ini sudah selesai dan meskipun saya bukan orang India dan Hindu, saya tetap tidak bisa berhenti mengaguminya. Untuk masuk ke dalam Batu Cave harus melewati anak tangga yang sudah tidak sanggup lagi saya hitung. Saya kehilangan kemampuan menghitung begitu memasuki angka 80-an. Yang pasti, saya seperti kehabisan napas ketika sampai di puncak. Tubuh saya basah keringat dan rambut langsung lepek dan muka merah. Tapi ada kepuasan tersendiri saat bisa mencapai puncak dan merasakan hembusan angin yang terasa begitu sejuk. Niat saya untuk mendorong Prakash dari puncak tertinggi langsung hilang. Di dalam ada gua Ramayana. Saya kagum dengan patung Hanuman yang menjulang tinggi. Menurut Wikipedia, patung Hanuman ini tingginya 15 meter. Lucunya, ada beberapa monyet yang berkeliaran dan saya tidak tahu apa yang ada dalam diri saya yang begitu memesona buat binatang ini. Seekor monyet yang tengah asyik nangkring di salah satu pilar memandang dan mengedipkan matanya pada saya. Saya sampai terhenyak dan mantan tertawa melihat kelakuan monyet tersebut. Ini bukan pertama kalinya seekor monyet flirting terang-terangan.
Dulu, ketika kakak perempuan saya tinggal di Sanur, tempat kosannya berada di jalan yang sama dengan Grand Hyatt Sanur dan ada seekor monyet yang dipelihara dan selalu nangkring di tembok. Setiap kali saya menggoes sepeda melewatinya dan menatapnya, dia selalu mengedipkan matanya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah di mata monyet-monyet itu saya tampak seseksi Megan Fox? Tapi kenapa efek yang sama tidak terjadi pada cowok-cowok ganteng ya? Ok, return to Batu Cave, setelah lemah lunglai menaiki dan menuruni tangga, saya diajak makan di dekat area parkir. Di sini ada beberapa rumah makan yang pastinya menyajikan makanan India. “Here, you can taste the best Indian food in Kuala Lumpur,” ungkap Prakash. Makanan India yang ada di sini hanya menyediakan menu-menu vegetarian. Saya sempat ternganga mendengar kata-kata itu. I’m a meat lover. Saya nggak pernah makan tanpa ada lauk yang terbuat dari daging. Makan nggak afdol kalau nggak pakai lauk pauk. “You will like it jaan. The food is good. Trust me,” ucap mantan sambil memeluk bahu saya. Sementara Prakash yang berada di depan saya hanya tertawa-tawa saja. Jujur, saya langsung ngedrop. Apalagi melihat pelayan menaruh daun pisang di depan kami. Tidak berapa lama datang pelayan lain yang menaruh nasi, kari yang terbuat dari sayur okra, daal yang terbuat dari kacang kedelai, dan gorengan plus papadam, sejenis kerupuk khas India. “Mixed it up and eat. Stop staring at the meal. If you don’t eat it, they will think that you insulting their food,” ucap si mantan setengah mengancam. Saya mengikuti sarannya dan mulai mengaduk nasi dengan semua jenis kari dan daal yang ada dan menyuapkannya ke dalam mulut. Honestly, it’s delicious. Saya mampu menghabiskan jatah makanan yang ada di atas daun pisang di depan saya. Bukan semata-mata karena saya kelaparan sehabis menaiki ratusan tangga tapi karena makanannya memang enak. Tanpa ada tambahan lauk pauk pun saya bisa menghabiskan dan menikmatinya. Siapa nyana sayur kari okra ternyata enak juga. Asalkan jangan makan menu ini setiap hari, saya sangat bahagia menikmati makanan ini lagi. I love vegetarian style of this Indian food.
Di restoran ini pula untuk pertama kalinya saya merasakan Teh Tarik yang terenak yang pernah saya coba. Cara pembuatannya pun lengkap dengan gerakan akrobatik. Hebatnya, tidak ada satu tetespun air teh yang jatuh. Semakin jauh jarak tarikan ternyata semakin membuat teh enak. Mereka menyajikan teh tarik di dalam gelas yang terbuat dari alumunium. Saya paling jarang memuji teh tarik kalau tidak benar-benar enak dan teh tarik di sini benar-benar enak. Saya sampai nambah sampai dua gelas. Satu-satunya yang membuat saya merasa sedikit kurang nyaman, banyak sekali pedagang asongan yang masuk ke restoran yang menawarkan berbagai macam produk mulai obat kumis, obat penebal rambut sampai obat kuat. Sayang mereka tidak menjual obat pelangsing, pasti saya sudah tertarik membelinya.
No comments:
Post a Comment