Tuesday, March 15, 2011

Ngantre Panjang untuk Ma Icih, Masakcih?


Saat makan siang senin kemarin, bos bbm yang isinya : "Di Bandung lagi heboh keripik, tiap hari ada antrean panjang buat beli keripik. Sayang U**** (nama majalah tempat saya bekerja) sudah tidak ada :( (dengan ikon wajah sedih). Saya tersenyum pahit membaca isi bbm tersebut. Saya tahu benar keripik yang beliau maksud dan saya tahu benar rasanya memiliki sebuah berita tapi tidak bisa lagi menuliskannya di media yang tepat. Tapi untungnya saya memiliki blog ini dan minat dan my passion tentang makanan dan dunia kuliner masih bisa saya tulis di sini. Tentang keripik yang sedang menghebohkan itu saya sudah tahu sejak akhir Januari. Keripik Ma Icih ini memang sedang jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Saya tahu keripik ini gara-gara suatu siang, saya dan mama sedang jalan-jalan di sebuah pertokoan dan meliohat antrean panjang orang membeli makanan. Insting saya langsung membawa saya masuk ke antrean walaupun mama melotot karena harus menemani saya berdiri selama setengah jam untuk membeli dua bungkus keripik singkong yang bertabur ulekan cabai kering berwarna merah membara. Saya suka dengan bungkus plastiknya yang bergambar seorang perempuan yang saya asumsikan sebagai the famous Ma Icih.

Mama langsung menolak tegas sambil buang muka saat saya tawari keripik ini. "Makanan racun ," ungkapnya pedas. Saya tertawa terbahak-bahak. Jangan tersinggung ya Ma Icih. Mama saya akan menyebut makanan apa pun yang berasa pedas sebagai makanan racun karena beliau pernah terbaring tak berdaya selama dua minggu karena murus-murus akibat dua butir cabai rawit yang nyasar masuk ke dalam adonan gado-gado pesanannya. So, make sense dong kalau semua makanan pedas menjadi racun buatnya. Ketika bungkus plastik saya robek dan potongan keripik masuk ke dalam mulut mungil ini, saya langsung teringat kerupuk setan kiriman kakak sepupu saya di Cikarang. Rasanya cuma satu. Pedas yang bikin kesetanan. Sumpah, Ma Icih bikin bibir saya serasa baal alias mati rasa karena pedasnya. Selain pedas, nyaris tidak ada rasa lainnya. Dan menurut saya keripik ini rasanya biasa saja.Tapi saya tidak mau terburu-buru dengan penilian ini. Setelah makan dan makan lagi dan makan lagi sampai dua bungkus keripik ini habis saya masih merasa penilaian saya tidak berubah. Selain pedas yang menggigit, tidak ada hal lain yang membuat keripik ini jadi istimewa. Tapi saya tahu pecinta makanan pedas akan sangat tergila-gila dengan keripik ini. Apalagi kalau makannya dicampur dengan kuah bakso. Hmmmmmm, bakal nendang abis dan endang surendang. Tapi ya hanya itu saja. Tidak ada yang lainnya. Dan beberapa hari setelah itu saya bbm salah seorang foodie dan pebisnis kuliner untuk bertanya soal keripik Ma icih ini. "Ko, loe tau keripik Ma Icih Nggak? Pernah coba nggak? Menurut loe rasanya seperti apa?" tulis saya via bbm. Tidak lama Lee Tju, my dear friend itu menjawab. "Tahu dong Ci. Tapi menurut gw sih rasanya biasa aja. Tapi pedesnya edan," tulis Lee Tju yang selalu memanggil saya dengan sebutan Cici.

Secara pribadi saya merasa wajib menuliskan mengenai keripik ini bukan karena rasanya yang spektakuler (i still think and feel the taste is just ordinary) tapi saya justru salut dan angkat jempol dengan si pemilik brand yang menjual produknya dengan cara yang unik dan membuat produknya jadi naik. Mak Icih ini tidak dijual di tempat khusus. Para distributor produk ini yang konon kabarnya dipanggil dengan sebutan Jendral Ma Icih ini mendistribusikannya dengan cara yang unik dan melalui jejaring sosial twitter. Jadi kalau mau tau di mana mereka jualan follow saja ke @infomaicih. Cara penjualan model ini sedikit mengingatkan pada gaya berjualan roti bakar yang sedang happening di San Fransisco. Mereka menyebutkan lokasi penjualan via twitter dan sebelum gerobak roti bakar dibuka, pembeli sudah mengantre. Jadi, salut banget buat Ma Icih dengan model jualan yang inovatif dan menurut teman saya di Bandung, sekarang sudah ada varian baru. Ok deh, kalau pulang ke Bandung saya akan coba varian baru Ma Icih dan saya akan tulis lagi, apakah sudah ada perbaikan rasa atau masih mengandalkan pada rasa pedas saja.

1 comment:

Purnawan Hadi said...

Yoi... dan gue udah ngerasain pedesnya level 10, sampai semaput... hehehehe....