Tuesday, March 29, 2011

Nyuros di Cafe Churreria





Kurang lebih sebulan belakangan ini, Ika, salah satu juragan media tetangga ribut pengan makan churros di Grand Indonesia. Apalagi saat itu Cafe Churreria yang menjual Churros, jajanan kaki lima a la Spanyol ini sedang menggelar diskon. "Lumayan nih cong. Udah lama ik nggak jajan-jajan di Grand Indonesia," tulisnya lewat BBM. Tapi karena jadwal ketemuan yang nggak pernah matching, akhirnya rencana nyuros bareng itu nggak pernah kesampean. Sampai satu hari kami merencanakan sesi curhat-curhat nggak penting soal kantor dan di hari Minggu nan ceria sehabis gajian yang masuk tanpa tambahan kenaikan gaji dan TIT itu dilakukan. Karena sudah lapar berats, tujuan langsung ke Food court di lantai 2. Saya pesan makanan di restoran Jepang sementara Ika makan gado-gado Sate House Senayan. Setelah makan dan mulai sedikit obrolan, suasana mulai nggak enak. Karena banyak banget orang yang cari tempat duduk dan segerombolan keluarga yang duduk di samping kami kok kayaknya ribut banget. Mana enak curcol dalam kondisi seperti ini. Akhirnya ide nyuros itu muncul lagi. "Tapi sekarang lagi nggak diskon cong. Gimana?" tanya Ika sambil berdiri dari kursinya.
Kalau melihat nominal yang tertera di ATM sih kelihatannya masih sangat menggoda. Tapi itu belum dikurangi untuk keperluan sehari-hari dan belanja dan bayar-bayaran yang lain. Tapi demi mengeluarkan semua beban yang sudah mengganduli di hati, akhirnya dengan gaya super pede saya memutuskan untuk nyuros aja. Kalau di Spanyol, biasanya churros dijual di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak, di Grand Indonesia, churros dijual di sebuah kafe yang chic. Selain churros ada beberapa pilihan menu yang terdiri dari cake yang manis-manis. Tapi semua jenis cake itu tidak ada yang istimewa. Sudah banyak cafe lain yang menjual menu sejenis. Yang paling menarik ya si churros ini yang bentuknya panjang, bulat dan bergerigi. Kalau saya melihatnya kok sedikit mirip dengan kaktus.
Walaupun kami berdua mengaku masih kenyang. Tapi setelah melihat menu, kami memutuskan membeli churros yang ukuran besar dengan 6 potong churros plus dua dipping sauce. Pilihan saucenya sangat spektakuler; dark chocolate dan white chocolate. Karena selera kami berdua sedikit beda, taburan churros pun mix antara gula putih dan cinnamon. Walaupun akhirnya, setelah menu datang, icing white sugar lebih enak. Tapi cinnamon juga ok karena wanginya bikin semangat makan.
Secara personal, saya suka dengan dipping dark chocolate. Sementara Ika lebih suka dengan white chocolate. Sambil makan churros dan ngobrol tentang harga churros di Spanyol yang lebih murah dan ukurannya lebih besar, saya jadi teringat Michael, teman saya yang pertengahan tahun 2010 cerita tentang niatnya membuka gerai churros di Bangkok. Sambil melahap churros, saya mengirim SMS ke Michael dan bertanya tentang gerai churrosnya di Bangkok. Menurut Michael, dia mengguinakan gaya berjualan yang sama dengan yang dilakukan di Spanyol. Churros dijual menggunakan gerobak dan dijual di mall, salah satunya di MBK. Tapi ternyata bisnisnya tidak berjalan bagus dan hanya bertahan selama beberapa bulan sebelum Michael memutuskan menghentikan bisnisnya itu. "Kalau tidak salah mesinnya masih ada. Nanti saya tanyakan pada staff saya. Kamu mau mesin itu?" tanya Michael lewat SMS. Saya hanya tertawa membacanya. Tapi perkataan Michael membuat saya menyadari satu hal. Makanan kaki lima yang sukses di mancanegara belum tentu bisa dijual dengan cara yang sama di Asia, terutama Indonesia. Contohnya saja Old Chang Kee, gorengan asal Singapura yang dijual di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak. Begitu makanan ini masuk ke Jakarta, dijualnya di dalam mal. Walaupun stall-nya kecil, tapi tidak terlihat seperti gerobak. Lalu sekarang ini ada churros. Makanan kaki lima yang disajikan di sebuah kafe yang chic. Lebih cocok dijadikan sebagai kudapan sambil nongkrong-nongkrong. Sementara di negara asalnya, makanan yang dikenal sebagai donatnya orang Spanyol ini merupakan menu sarapan. Dan dimakannya juga sebagain besar sambil jalan menuju kantor atau tempat beraktivitas lainnya. Kalau mau nongkrong, orang Spanyol makan tapas.
Intinya, kalau mau menjual makanan kaki lima di Indonesia, bentuknya harus chic dan keren.Karena orang Indonesia masih merasa kalau nongkrong di kafe tuh keliatannya keren. Apalagi, kafe itu menjual menu yang unik dan kelihatannya internasional. Apakah saya dan Ika juga termasuk golongan orang Indonesia yang kayak itu? Mungkin ada kalanya kami juga seperti itu. Tapi kami bisa kok nongkrong di pinggir jalan selama makanannya enak. Tapi nggak ditengah siang yang terik yaaa. Man, bisa gosong gueeeeeeee. Plis dehhhhh

No comments: