Urban Legend di Indonesia yang berhubungan dengan makanan tuh nggak ketulungan banyaknya. Pernah denger dong cerita tentang resto mie yang sangat terkenal yang kabarnya memelihara tuyul dan pocong. Menurut mereka yang bisa ngeliat aka punya sixth sense atau eight sense, mereka melihat pocong2 yang meneteskan air liurnya di makanan yang tengah dimakan pengunjung di resto itu. Atau mungkin pernah denger juga cerita tukang sate atau soto yang terkenal yang tutup di hari tertentu. Konon kabarnya hari tutup itu merupakan saran dari dukun yang mereka pakai.
Biasanya, kalau denger cerita2 seperti ini gw cuma cekikikan doang. Sedikit nambah2in biar seru. Apalagi kalau kebetulan di situ ada temen yang latah. Makin seru kan ceritanya. Kenapa gw ngomongin hal ini? Bukan tanpa alasan. Tapi karena ini berkaitan dengan kejadian yang gw alamin di Pekalongan dan Solo beberapa bulan yang lalu. Pulang dari belanja batik (sebenernya orang lain yang belanja, gw cuma nemenin sambil bantuin ngangkutin barang, tepatnya), kami diajak makan di warung soto pinggir jalan yang konon sangat populer. Karena yang mengajak orang lokal, ya saya percaya saja. Warungnya suram dan berkesan tua. Ini bukan buat nakut-nakutin lho. Tapi bentuk dan rupa warungnya sudah tua. Kayaknya warung ini dah lama nggak dicat. Sebenernya, waktu masuk ke tempat ini, perasaan udah nggak enak. Di bagian depan, ditaro tumpukan mangkuk soto9 yang sudah diisi dan tinggal ditambahi kuah.
Dibagian dalam ada meja dan kursi panjang buat duduk pengunjung. Di atas meja ada banyak gorengan dan peyek. Nggak lebay, tapi tempat ini bener-bener membuat gw ketakutan. Nggak nyaman dan bulu kuduk berdiri. Rasa sotonya sih enak, tapi somehow gw tidak bisa menghabiskan makanan di sini karena rasa nyaman yang nggak terkatakan. Gw merasa ada yang mengawasi gerak-gerik gw selama makan. Betul-betul membuat gw pengen nangis saking stressnya. Sebelum pulang, gw merasa ingin memotret tempat ini. Begitu kamera gw keluar, pelayan langsung melarang gw memotret dengan wajah emosi. Makinlah gw ketakutan. Bukan karena takut dimarahi tapi otak parno gw melayang-layang membayangkan apa yang mungkin akan tertangkap oleh kamera gw ketika tombol dijepretkan. Saat itu juga gw langsung keluar dengan setengah terbirit-birit and I promised myself. Sekalipun Pak Bondan yang ngajak makan kesini dan merekomendasikan tempat ini, gw nggak bakalan lagi balik ke tempat ini. Cukup sekali saja.
No comments:
Post a Comment