Sunday, December 19, 2010

Mengeksklusifkan Makanan Kaki Lima? It's not an Easy Task Indeed




Pulang dari gereja, dalam keadaan kelaparan, saya dan Amy memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran di dalam Alun-Alun, Grand Indonesia. Restoran yang nyaman dan tenang buat makan. Menunya juga makanan tradisional yang menurut Amy sih enak. Saya baru dua kali datang ke restoran ini dan waktu itu saya cuma tertarik buat icip-icip jajanan pasar yang ngampung banget. Dan waktu itu, jujur saya tidak terlalu puas dengan apa yang disodorkan. Rasanya nanggung. Serba kurang. Kurang manis, kurang empuk, atau kurang gurih. Nggak semantap jajanan pasar yang biasa saya makin di pasar. Pokoknya kesan pertama saya masih kurang bagus. Tapi untuk urusan makan saya cukup permisif. Artinya, kalau kesan pertama kurang baik, saya akan mencoba sekali lagi. Memastikan bahwa ada menu lain yang mungkin belum saya coba dan menu ini ternyata layak direkomendasikan.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba bajigur. What can go wrong with just a cup of bajigur kan?Minuman ini cukup sederhana. Asal campuran gula merah dan santannya pas, rasanya pasti mantap. Cukup jahe tapi tidak terlalu kuat. Minuman ini saya rasa cocok karena suasana mendung dan badan saya sedikit menggigil kedinginan. Sesapan pertama tidak terlalu memuaskan. Saya ulangi dengan sesapan kedua dan ketiga. I'm still not happy. Menurut selera saya, rasanya kurang mantap. Manisnya kurang. Komposisinya kurang pas. Santannya lebih mendominasi. Jadi kurang echo untuk ukuran saya. Tapi itu menurut saya. Amy memesan semangkuk mie Jawa dengan beef. Sementara saya masih berusaha memilih-milih menu yang ingin saya coba. Saya sedang tidak mood makan seporsi sop buntut atau Asam-Asam Iga atau Mie Goreng. Setelah membolak-balik menu, akhirnya saya memilih ketoprak. Sambil menunggu pesanan datang, saya mencicipi Mie Kuah Jawa pesanan Amy, menu yang sangat direkomendasikannya. Tampilannya sih menggoda iman. Apalagi melihat asap yang mengepul dari mangkok, membuat saya begitu bernapsu untuk mencoba. Satu suap, dua suap dan suap, saya hanya merasa manisnya kecap dan pedasnya potongan cabai rawit. Mie kuah khas Jawa terkenal dengan kuah yang gurih dan rasa yang mahteh. Ini yang tidak saya temui pada setiap suapan. Jujur saya kecewa dan saya tidak pernah menyembunyikan kekecewaan kala makanan yang saya cicipi tidak memenuhi standar. Apalagi kalau harus membayar dengan harga yang cukup tinggi. Melihat saya mengomel, Amy cuma bisa geleng-geleng kepala. "Buat gw sih mie Jawa ini udah enak. Loe terlalu sering nyoba makanan, jadi standar loe terlanjur ketinggian," komentar Amy. Saya langsung berpikir, mungkin juga apa yang Amy bilang itu ada benarnya. Saya sudah mencoba mie Jawa legendaris di Jogja dan Gunung Kidul dan Bantul. Di Bandung, saya sudah punya langganan Mie Jawa yang rasanya memang mantap.Masih dimasak pakai anglo dan menggunakan ayam kampung. Rasanya mahteh dan benar-benar memuaskan selera. Tidak plain seperti yang saya cicipi dari mangkuk Amy.

Saya jamin, mie Jawa ini dimasak dengan kompor gas atau bahkan listrik. Dan irisan daging sapinya sudah di stok. Sehingga rasa dagingnya juga sudah tidak juicy. Ibu saya bilang sih anyep alias dingin. Jadi hasilnya juga tidak istimewa. Maaf, tapi saya benar-benar kecewa dengan mie Jawa ini. Seharusnya mengangkat makanan kaki lima macam ini tidaklah terlalu sulit. Intinya, bahan-bahannya harus segar. Kaldunya juga harus segar. Apalagi dagingnya. Sehingga rasa kuahnya bisa gurih. Intinya, sesederhana apa pun menu itu, persiapan dan pemilihan bahan tetap tidak boleh sembarangan. Itu prinsip utama menurut saya. Kekecewaan saya tidak terhapus dengan kehadiran ketoprak. Saya mencoba menu ini dengan antusias. Sangat antusias malah, karena ini menu favorit saya. Tapi lagi-lagi saya kecewa. Saus kacangnya sih lumayan walaupuin kurang kental, tapi tahunya asam. Saya sadar, tahu Jakarta asam dan tidak seenak tahu Bandung. Tapi saya juga tidak mengharapkan akan mencicipi tahu yang kualitas seperti ini di sebuah restoran yang cukup eksklusif macam ini. Tahunya bisa dong diganti dengan tahu Cina yang enak. Harganya juga tidak terlalu mahal. Atau pesan tahu yang enak. Akhirnya saya hanya memakan seperempatnya saja. Saya tidak bisa meneruskan karena saya sangat kecewa.

Pengalaman ini mengingatkan saya saat makan bersama bos di sebuah restoran berinterior luar biasa yang juga berada di Grand Indonesia. Saat itu saya memesan Mac and Cheese, sementara beliau memesan Sop Kambing. Saya memang bukan pecinta sop kambing, tapi paling tidak saya sudah mencicipi warung sop kambing paling populer di kota ini dan beberapa kota lain. Jadi begitu wajah si bos kelihatannya tidak happy, saya punya firasat, rasanya tidak sesuai dengan harganya. Maklum, si bos kebalikan dari saya. Beliau pecinta sop kambing. Bos mendorong mangkuknya kearah saya dan memaksa saya mencicipi pilihannya. Saya menyengir asam saat mencoba sop kambing yang menurut si pelayan, is one of the best menu di restoran yang punya banyak cabang di mancanegara itu.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman di atas, saya sadar, mengeksklusifkan makanan kaki lima itu ternyata tidaklah mudah. It's not an easy task. Orang sering bilang, debunya yang bikin enak, atau keringat yang mengucur saat makan di tempat yang panas dan sumpek itu yang membuat makanan itu jadi terasa enak. Well, mungkin semua pernyataan itu ada benarnya.

No comments: